News

Lebih dari 84% Koruptor Sarjana, Mengapa Orang Pintar Korupsi?

Menko Polhukam sekaligus calon wakil presiden Mahfud MD mengungkapkan lebih dari 84 persen koruptor di Indonesia merupakan lulusan perguruan tinggi alias sarjana. Ada apa dengan orang-orang pintar ini malah makin pintar korupsi?

“Dulu orang kaget, ‘Pak, apa betul lulusan perguruan tinggi itu 84 persen korupsi’. Bukan, koruptor itu 84 persen lebih lulusan perguruan tinggi,” kata Mahfud di Universitas Budhi Darma, Tangerang, Rabu (29/11/2023).

Dia menjelaskan persentase itu berasal dari total 1.250 koruptor yang telah menjalani hukum pidana. Maka, 84 persen dari jumlah tersebut yaitu sekitar 950 orang. Sementara menurut Mahfud, jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia saat ini mencapai sekitar 17 juta orang. Karena itu, kata dia, angka tersebut masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan jumlah lulusan yang ada.

Para koruptor yang ditangkap tidak hanya lulusan perguruan tinggi tetapi juga terjadi terhadap para pengajar bahkan rektor. Ini menjadi keprihatinan mengingat para pengajar alias dosen ini seharusnya juga memiliki tanggung jawab untuk ikut menanamkan sikap antikorupsi kepada para mahasiswanya.

Penangkapan koruptor yang cukup menghebohkan adalah Rektor Universitas Lampung (Unila) Prof. Karomani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun lalu. Penangkapan ini terkait dugaan korupsi suap penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri di universitas negeri tersebut. Ini kembali menjadi bukti korupsi tidak pandang bulu, juga merasuki orang-orang pandai bahkan bergelar profesor.

Prof. Karomani dikabarkan menerima suap senilai sekitar Rp 2 miliar. Penyidik KPK menangkap tujuh orang di Bandung dan Lampung termasuk Rektor dan pejabat kampus. Rektor kelahiran Pandeglang 30 Desember 1961 itu selama ini juga ikut menyuarakan antikorupsi. Ia yang juga menjabat Ketua Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa (FRPKB). 

Pada Maret 2022 lalu ia sempat menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI Firli Bahuri dalam rangka membangun sinergis sosialisasi publik yang intensif terkait pencegahan korupsi dan membangun karakter generasi bangsa antikorupsi. 

Tingkat Korupsi Masih Tinggi

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 merosot di skor 34 atau turun empat poin dari tahun sebelumnya. Sebuah raihan terburuk sepanjang sejarah reformasi dalam penanganan korupsi. IKP merupakan sebuah indikator komposit untuk mengukur persepsi korupsi sektor publik pada skala nol (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih) di 180 negara dan wilayah berdasarkan kombinasi dari 13 survei global dan penilaian korupsi menurut persepsi pelaku usaha dan penilaian ahli sedunia sejak 1995.

IPK Indonesia tahun 2022 berada di skor 34 dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun 4 poin dari tahun 2021 lalu yang berada pada skor 38. Skor ini merupakan penurunan paling drastis sejak 1995. Dengan hasil ini, Indonesia hanya mampu menaikkan skor CPI sebanyak 2 poin dari skor 32 selama satu dekade terakhir sejak 2012. 

Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara berbagi posisi dengan Bosnia and Herzegovina, Gambia, Malawi, Nepal dan Sierra Leone dengan skor 34. Sementara posisi Indonesia di Kawasan Asia Tenggara menduduki peringkat 7 dari 11 negara, jauh di bawah sejumlah negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Timor Leste, Vietnam dan Thailand.

Orang Pintar Kok Korupsi?

Pengungkapkan data tentang koruptor ini kembali memunculkan pertanyaan mengapa orang pintar lulusan sarjana perguruan tinggi bahkan dosen bergelar profesor masih melakukan korupsi? Kalau pertanyaannya mengapa orang bodoh korupsi mungkin bisa masuk akal mengingat pengetahuan mereka tentang konsekuensi hukum dari korupsi masih kurang. Atau orang miskin melakukan korupsi mungkin bisa kita tahu penyebabnya karena memang kekurangan harta.

Ada jenis orang yang mencuri atau korupsi bukan karena dia tidak punya sesuatu atau bukan karena membutuhkan sesuatu itu. Kebutuhannya sesungguhnya telah terpenuhi. Ada juga orang yang korupsi bukan karena tidak tahu konsekuensi dari perbuatannya yang merugikan banyak orang. Malahan ia mungkin lebih tahu dari yang lain.

Orang kaya atau orang pintar yang masih mencuri dan pejabat bergaji tinggi yang melakukan korupsi itu bukan karena bodoh, kekurangan makan dan minum melainkan karena kegelisahan batinnya, kegalauannya, ketakutannya tentang masa kini dan masa depannya yang lebih besar dibandingkan dengan kebutuhannya. 

Menarik mengutip pernyataan almarhum Prof KH Ahmad Imam Mawardi, ulama dan guru besar di Jawa Timur dalam sebuah tulisannya pernah menyebutkan, mereka yang korupsi itu salah duga dengan mengira bahwa bahagia itu ada pada kepemilikannya akan sesuatu. Padahal sesuatu yang dimiliknya kini pasti pada waktunya lepas dan pindah tangan entah kepada siapa. 

Perutnya hanya butuh sepiring nasi, badannya hanya butuh sehelai kain, namun nafsu dan ketakutannya menjadikannya merasa membutuhkan lebih dari itu. Karena ini pulalah mereka itu juga menjadi bakhil. 

“Ke alam kubur hanya membawa kain kafan saja. Mereka lupa bahwa tak dijumpai dalam sejarah ada orang yang dengan kekayaannya bisa membeli surga tanpa menggunakan kekayaannya itu di jalan yang dianjurkan oleh Allah,” katanya.

Yang pasti ada faktor psikologis, sosial, emosional, hingga religiusitas yang bisa berpengaruh kepada keputusan seseorang. Kadang kala orang lain melihat keputusan yang ia ambil tidak rasional. Seperti dalam kasus korupsi, mengapa ia masih melakukannya padahal punya jabatan mentereng, sudah kaya, bahkan dihormati banyak orang. 

Ada ungkapan dari seorang teman, di Indonesia ini, sulit sekali mencari koruptor yang tidak sekolah, bukan orang kaya, tidak pernah haji atau umroh. Semua gelar pendidikan, harta maupun agama hanya pakaian penutup badan, bukan sebagai esensi pengisi hati. 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button