Kanal

Membaca Apartheid Israel di Tanah Palestina, Dominasi Kejam Terhadap Kemanusiaan

We cannot migrate to any country because this is what the enemy wants, to kick palestinians out of Palestine. This ethnic cleansing.

Namanya Abeer Z Barakat, dia adalah seorang aktivis Great Return March, warga Gaza Palestina. Kini hidupnya dan juga ratusan ribu warga Palestina tidak tentu arah. Ini karena luncuran roket dari jet-jet canggih Israel bisa datang kapan saja, dimana saja dan tidak peduli mereka wanita atau anak-anak.  

Saat dihubungi reporter Inilah.com, Abeer mengaku baru saja pindah dari tempat pengungsian untuk kedua kalinya. Meski ia tau berpindah tempat menjadi kegiatan yang percuma, sebab semua tempat kini tak lagi aman di tanah Palestina.

“Saya berbicara kepada anda saat saya mengungsi untuk kedua kalinya. Zionis menargetkan banyak wilayah secara bersamaan. Kami berlari mencari keselamatan, tapi kami terus bergerak berputar-putar, semua tempat tidak aman,” kata Abeer.

Memang selama periode konflik antara Israel dan Palestina sejak 1900-an, bagian tanah Israel meluas secara bertahap. Sementara Palestina kian menyusut hingga menyisakan sekitar 6,020 km² pada saat ini.  

The United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) pada Januari hingga Juni 2022 mencatat bahwa Israel telah menghancurkan 300 bangunan Palestina di Tepi Barat dan Al-Quds (Yerusalem). Data tersebut mencakup setiap penutupan permanen atau penghancuran properti perumahan maupun komersial, atau bagian penting dari infrastruktur publik seperti pipa air, jalan dan fasilitas jaringan.

Berdasarkan data yang sama, sejak tahun 2009 hingga Juli 2022, Israel telah menghancurkan 8.566 bangunan dan mengusir 12.640 warga Palestina. Dalam setiap pembongkaran yang mereka lakukan, Israel berdalih kebijakan ini mereka lakukan karena bangunan Palestina tidak memiliki izin. 

Bersamaan dengan masifnya penggusuran di berbagai wilayah, Israel telah membangun sekitar 164 permukiman untuk 650.000 pemukim Yahudi, dan menyediakan 124 pos militer di permukiman yang terletak di Tepi Barat dan Al-Quds (Yerusalem). 

post-cover
Mural mendiang Yasser Arafat sedang menatap keganasan tentara Israel membantai rakyat Palestina. (Foto:Istimewa)

Ketika ratusan ribu penduduk Palestina kehilangan tempat tinggal dan terpaksa menjadi pengungsi di negerinya sendiri, Israel justru “mengundang” umat Yahudi dari seluruh penjuru dunia dan menyediakan mereka tempat tinggal dari tanah yang mereka rampas.

We cannot migrate to any country because this is what the enemy wants, to kick palestinians out of Palestine. This ethnic cleansing,” demikian pesan sinkat Abeer kepada Inilah.com

Pesan ini sengaja kami tidak artikan dalam bahasa Indonesia, untuk menggambarkan bagaimana keinginan keras rakyat Palestina untuk mempertahankan tanah airnya, alih-alih meminta suaka ke negara lain. Pesan itu juga sebagai argument kuat menolak pembersihan etnis yang coba dimainkan Israel.

“Tuan Biden, Ini Adalah Apartheid”

Ada cerita saat Presiden Amerika Serikat Joe Biden berkunjung ke Palestina pada 13 Juli 2022. Sebuah Baliho besar bertuliskan “Tuan Presiden, ini adalah apartheid” menjadi ucapan ‘selamat datang’ dari rakyat Palestina.

Baliho itu sengaja dipasang sejumlah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Palestina agar sekutu abadi Israel itu membaca bahwa sesunguhnya politik apartheid sedang berlangsung di tanah Palestina.

“Istilah “apartheid” secara eksplisit menerapkan segregasi rasial, serta dominasi dan penindasan suatu kelompok ras terhadap kelompok ras lainnya,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid ketika berbincang dengan Inilah.com. 

Label ini menurut Usman, memang cocok disematkan kepada Israel sebagai negara “apartheid” yang memperlakukan warga Palestina sebagai “kelompok ras yang lebih rendah”. Ini menurut Usman, sesuai dengan hasil kajian  Amnesty Internasional pada tahun 2022 berjudul “Apartheid Israel terhadap Palestina: sistem dominasi yang kejam dan kejahatan terhadap kemanusiaan”. 

Dalam penyelidikan itu, terdokumentasi tindakan-tindakan yang dilarang Konvensi Apartheid dan Statuta Roma terjadi di semua wilayah yang dikontrol Israel, terlebih di daerah Occupied Palestinian Teritories (OPT) atau wilayah pendudukan Palestina.

Pihak berwenang Israel memberlakukan berbagai tindakan dan secara sengaja menolak hak-hak dasar dan kebebasan warga Palestina, termasuk pembatasan gerakan yang kejam di wilayah Palestina, investasi yang diskriminatif dalam komunitas Palestina di Israel dan penolakan hak pengungsi untuk kembali. 

post-cover
Sebuah baliho yang menyatakan Israel adalah negara apartheid telah dipasang oleh kelompok hak asasi manusia BTselem di Tepi Barat yang diduduki. Papan reklame tersebut dipasang menjelang kunjungan Presiden AS Joe Biden ke Timur Tengah, Kamis (14/7/2022). (Foto: Mahmoud Illean/AP Photo).

“Amnesty International pada 2022 membuat laporan yang menganalisis niat Israel untuk menciptakan dan mempertahankan sistem penindasan dan dominasi terhadap warga Palestina dengan mengkaji komponen-komponen utamanya: yaitu fragmentasi wilayah; segregasi dan kontrol; perampasan tanah dan properti; dan penolakan hak-hak ekonomi dan sosial. Laporan itu menyimpulkan bahwa sistem tersebut sama dengan apartheid,” kata Usman Hamid.

Pada laporan setebal 182 halaman itu, terdapat beberapa poin yang mendasari Amnesty International melabeli Israel sebagai negara apartheid. 

Pertama, orang Palestina diperlakukan sebagai ancaman demografis.

Menurut laporan Amnesty, sejak didirikan pada tahun 1948, Israel telah menerapkan kebijakan untuk menetapkan dan kemudian mempertahankan mayoritas demografis Yahudi, dan memaksimalkan kontrol atas tanah dan sumber daya untuk menguntungkan orang Israel Yahudi. Pada tahun 1967, Israel memperluas kebijakan ini ke Tepi Barat dan Jalur Gaza. 

Sementara saat ini, semua wilayah yang dikendalikan oleh Israel terus dikelola dengan tujuan menguntungkan orang Israel Yahudi dan merugikan orang Palestina, sementara pengungsi Palestina terus terkucilkan.

Kedua, penindasan tanpa batas.

Amnesty International menunjukkan bahwa pihak berwenang Israel memperlakukan orang Palestina sebagai kelompok ras yang lebih rendah. Diskriminasi rasial ini dikukuhkan dalam undang-undang yang memengaruhi warga Palestina di seluruh Israel dan OPT.

post-cover
Warga Palestina menunggu untuk melintasi pos pemeriksaan Qalandia antara Ramallah dan Yerusalem dalam perjalanan menuju Masjid Al Aqsa. (Foto: Abbas Momani / AFP).

Misalnya, penduduk Palestina di Israel tidak diakui kewarganegaraannya, sehingga membuat pembedaan hukum dari orang Israel Yahudi. Di Tepi Barat dan Gaza, di mana Israel telah mengendalikan pendaftaran penduduk sejak 1967, sementara warga Palestina tidak memiliki kewarganegaraan dan sebagian besar dianggap tanpa kewarganegaraan, dan membutuhkan kartu identitas dari militer Israel untuk tinggal dan bekerja di wilayah tersebut.

Pengungsi Palestina dan keturunannya yang terlantar dalam konflik 1947- 1949 dan 1967, terus ditolak haknya untuk kembali ke tempat tinggal mereka sebelumnya. Sejak 1967, lebih dari 14.000 warga Palestina telah dicabut izin tinggalnya melalui kebijakan Kementerian Dalam Negeri Israel, yang mengakibatkan pemindahan paksa mereka ke luar Yerusalem.

Ketiga, warga negara yang tidak setara

Warga Palestina di Israel, sekitar 21% dari total populasi, menghadapi banyak bentuk diskriminasi yang dilembagakan. Pada tahun 2018, diskriminasi terhadap orang Palestina dikukuhkan dalam undang-undang konstitusional yang untuk pertama kalinya, mendefinisikan Israel secara eksklusif sebagai “negara bangsa orang-orang Yahudi”. Undang-undang tersebut juga mempromosikan pembangunan pemukiman Yahudi dan menurunkan status bahasa arab sebagai bahasa resmi.

Laporan tersebut mendokumentasikan bagaimana warga Palestina secara efektif diblokir dari penyewaan di 80% tanah Israel, sebagai akibat dari perampasan tanah dan jaringan undang-undang diskriminatif tentang alokasi, perencanaan, dan zonasi tanah.

post-cover
Seorang anak laki-laki Palestina menyaksikan pemerintah Israel menghancurkan sebuah sekolah di desa Yatta. (Foto:Hazem Bader/AFP)

Situasi di wilayah Negev/Naqab di Israel selatan adalah contoh utama bagaimana kebijakan perencanaan dan pembangunan Israel dengan sengaja mengecualikan warga Palestina. Sejak tahun 1948 pihak berwenang Israel telah mengadopsi berbagai kebijakan untuk “Yahudisasi” Negev/Naqab, termasuk menetapkan wilayah yang luas sebagai cagar alam atau zona tembak militer, dan menetapkan target untuk meningkatkan populasi Yahudi. Ini memiliki konsekuensi yang menghancurkan bagi puluhan ribu orang Palestina yang tinggal di wilayah tersebut.

Sebanyak 35 desa, rumah bagi sekitar 68.000 orang saat ini “tidak diakui” oleh Israel, yang berarti mereka terputus dari listrik nasional dan pasokan air dan ditargetkan untuk pembongkaran berulang kali. Karena desa tidak memiliki status resmi, penduduknya juga menghadapi pembatasan partisipasi politik dan dikeluarkan dari sistem perawatan kesehatan dan pendidikan. Kondisi ini telah memaksa banyak orang untuk meninggalkan rumah dan desa mereka, yang sama saja dengan pemindahan paksa.

Contoh terbaru dari perlakuan Israel, adalah paket pemulihan Covid-19 yang hanya 1,7% diberikan kepada otoritas lokal Palestina.

Keempat, perampasan terhadap aset milik rakyat Palestina

Menurut laporan Amnesty Internasional, perampasan dan pemindahan warga Palestina dari rumah mereka adalah pilar penting sistem apartheid Israel. Sejak pendiriannya, negara Israel telah memberlakukan perampasan tanah besar-besaran dan kejam terhadap warga Palestina, dan terus menerapkan berbagai undang-undang dan kebijakan untuk memaksa warga Palestina kian terpinggir. Sejak 1948, Israel telah menghancurkan ratusan ribu rumah Palestina dan properti lainnya di semua wilayah di bawah yurisdiksi dan kendali efektif Israel.

Kelima, pergerakan rakyat Palestina dibatasi

Sejak pertengahan 1990-an pihak berwenang Israel telah memberlakukan pembatasan pergerakan yang semakin ketat terhadap warga Palestina di OPT. Jaringan pos pemeriksaan militer, penghalang jalan, pagar dan struktur lainnya mengontrol pergerakan warga Palestina di dalam OPT, dan membatasi perjalanan mereka ke Israel atau ke luar negeri.

Pagar sepanjang 700 km, yang masih diperluas Israel, telah mengisolasi komunitas Palestina di dalam “zona militer”, dan mereka harus mendapatkan beberapa izin khusus setiap kali mereka masuk atau meninggalkan rumah mereka. Di Gaza, lebih dari 2 juta warga Palestina hidup di bawah blokade Israel yang telah menciptakan krisis kemanusiaan. Hampir tidak mungkin bagi warga Gaza untuk bepergian ke luar negeri atau ke bagian OPT lainnya, dan mereka secara efektif dipisahkan dari seluruh dunia.

post-cover
Sebuah Mural yang tergambar dibalik tembol raksasa yang dibangun Israel. Tembok raksasa yang dibangun Israel itu kini seolah telah menjadi Palestina sebagai penjara terbesar di Dunia. (Foto:Istimewa)

“Jadi ketika pendudukan tanah, perluasan pemukiman ilegal, penekanan terhadap warga dalam sebuah tindakan apartheid, maka akan memunculkan reaksi perlawanan,” kata Anies saat dimintai pendapat soal konflik Israel-Palestina.

Menurut mantan Gubernur DKI itu, operasi badai yang digencarkan Hamas dan sekutunya pada hari raya Yahudi sabtu pekan lalu, menjadi ambisi atas ketidakadilan yang selama ini dirasakan. 

Anies mencatat hampir 600 orang Palestina meninggal terbunuh dalam 2,5 tahun terakhir dan tak ada penegakan hukum bagi pelakunya. Bahkan sehari sebelum peristiwa 7 Oktober seorang pemuda Palestina dibunuh beramai-ramai oleh pemukim ilegal di Huara.

“Jadi peningkatan eskalasi kekerasan yang terjadi beberapa waktu ini ketegangan yang muncul itu berakar pada ketidakadilan, penindasan dan pendudukan pada tanah Palestina oleh Israel,” kata Anies.

Bila hal dasar tersebut tidak diselesaikan, konflik ini akan terus terpelihara entah hingga kiamat nanti. Yang jelas, menurut Illan Pape, seorang sejahrawan Israel, bahwa bangsanya kini telah menjadikan Palestina sebagai penjara terbesar di Dunia.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button