News

Membaca Kembali Akulturasi Budaya dan Toleransi Nusantara

Atmosfer pemakaian batik tak lagi di seputar masyarakat Jawa. Masyarakat perkantoran, pelaku kreatif, anak sekolah, hingga pekerja warung di berbagai daerah, kini punya tradisi memakai batik.

Perkumpulan pencinta kain Nusantara, Sapawastra terus melakukan kampanye dengan menghadirkan “Kembang Pesisir” agar batik dan kebaya terus lestari di zaman yang kian berkembang ini.

Belasan perempuan tampil berkain batik pesisir dari berbagai daerah seperti Lasem, Pekalongan, Madura dan Cirebon yang dipadankan dengan kebaya kembang bernuansa kemben dan selendang khas perempuan Indonesia.  

Nury Sybli, Founder Sapawastra, menjelaskan, tema ini diangkat sebagai upaya membaca kembali akulturasi budaya dari lembaran batik.

Batik pesisir ibarat ‘belanga peleburan’ atau tempat lahirnya kebudayaan baru yang unik akibat pertemuan para pedagang, pelawat, dan agamawan dengan penduduk setempat.  

“Mencintai batik tak sekadar memakai, tetapi juga bisa belajar tentang sejarah bangsa-bangsa, juga perkembangan agama. Pada batik pesisir kita bisa belajar tentang akulturasi budaya dan toleransi karena batik pesisir lahir dari perjumpaan bangsa Eropa, Belanda, Arab, India dan China yang datang ke Indonesia,” papar alumni UIN Syarif Hidayatullah itu di Warung Tuman BSD, Tangerang Selatan, Senin (2/10/2023).  

Selain pengaruh budaya luar, batik pesisir yang coraknya beraneka ragam juga dipengaruhi perkembangan Hindu, Budha, dan Islam.

“Motif batik pesisir itu spontan, apa yang tumbuh di lingkungan atau apa yang dirasakan dari kehidupan. Bunga, ranting, burung, sampai ombak menjadi motif batik. Ini semacam pesan sederhana pada kita agar menjaga kelestarian alam. Ini juga cocok dengan pesan semua agama, supaya manusia saling menjaga lingkungannya,” kata Nury.

Hal senada disampikan Hesty Setya, salah satu anggota Sapawastra, pada Batik Gentongan, sangat kental unsur kecintaan pembatiknya kepada semesta.

“Pada sarung ini digoreskan motif ombak, ganggang, dan tumbuhan sekitar pantai. Motif ini dibuat oleh perempuan-perempuan yang menanti suaminya berlayar dengan menyematkan doa untuk keselamatan,” paparnya.

Ganggang merupakan tumbuhan laut yang berfungsi melindungi hewan-hewan kecil yang dimaknai bahwa sebagai manusia mesti berlaku lemah lembut sekaligus bisa melindungi dan berguna bagi orang lain. Motif bunga-bunga pada batik pesisir juga mengisaratkan kelembutan seorang perempuan.

Bentuk atau motif yang sangat bervariasi dan banyak memiliki unsur flora dan fauna ini menjadi pembeda batik pesisir dengan batik pedalaman atau keraton yang cenderung tegas dan kental dengan warna-warna cokelat, atau sogan.

Di Jawa, batik keraton berasal dari Kota Solo dan Yogyakarta. Sementara batik pesisir berkembang di daerah pesisiran seperti Lasem, Semarang, Kudus, Cirebon, Indramayu, Bakaran, Pekalongan, dan Madura (Tanjung Bumi, Bangkalan, Sumenep) dan masing-masing mempunyai ciri khas.

Selain motif, batik pesisir dikenal dengan warna yang bervariasi karena pengaruh beberapa negara seperti China terlihat pada warna merah dan ornamen banji kotak-kotak yang saling bersambung, warna biru dipengaruhi Eropa dan Belanda.

Jangan heran, batik Pekalongan bisa dibedakan mana pengaruh China yang dominan warna kuat (lebih terang) dengan motif naga, merak, awan, bunga teratai, serta flora dan fauna yang dikenal dengan batik encim. Sebaliknya, Eropa memiliki ciri warna-warna lembut dengan motif bunga diikat atau buketan yang dikenal dengan batik belanda.  

“Batik (encim) itu mulanya dibuat untuk menutup altar meja sembahyang saja, namun pada perkembangannya dikenakan sebagai busana atau sarung. Tapi motifnya lebih banyak dipengaruhi Indo-Eropa. Hanya saja batik peranakan Tionghoha itu warnanya lebih terang dan  kalau peranakan Indo-Eropa warnanya lebih soft,” papar Nury. 

Akulturasi budaya di pesisir utara Jawa, terutama Pekalongan, terjadi karena Pelabuhan Pekalongan pada waktu lampau merupakan pelabuhan ekspor-impor (1882) sehingga pedagang dari sejumlah negara berkumpul di pelabuhan kosmopolit itu, bahkan ada yang memilih menetap di Pekalongan.

Karena itulah motif batik di wilayah Pekalongan berwarna-warni karena terpengaruh kedatangan budaya asing, dengan tidak meninggalkan budaya asli mereka, Jawa.

Kemudian pada 1940-an, Jepang masuk Indonesia dengan membawa budaya baru dan muncul batik yang dikenal dengan Djawa Hokokai.    

Konon, batik Djawa Hokokai ini dibuat pada zaman Jepang sebagai pemberian hadiah kepada para pengusaha atau orang yang melakukan kerja sama ekonomi dengan Indonesia. Penamaan Hokokai itu memang diambil dari nama organisasi ekonomi Indonesia pra-kemerdekaan yang dibentuk oleh Jepang. Batik Djawa Hokokai diwarnai dengan motif bunga sakura dan kupu-kupu. Pada motif inilah kemudian muncul warna kuning, cokelat, biru, dan merah.

“Motif Hokokai ini didominasi bunga-bunga, burung hong, penchuk, dedaunan, dan ada salur-salur melintang yg menggambarkan ombak laut,” kata Hesty.

Selanjutnya, Nury menjelaskan, umumnya para pembatik ini perempuan, para istri yg sedang menunggu suaminya berlayar, berharap ombak tenang sehingga bisa mengantar suami mereka kembali ke rumah. Terasa di sini membatik menjadi ritual doa agar para suami selamat, sehat, dan membawa hasil ikan yang melimpah.

“Tradisi yang sama juga dilakukan para perempuan Bugis yang ditinggal suami berlayar. Mereka dengan setia menenun di kolong rumah sambil menanti suami sekaligus merapalkan do’a-do’a panjang,” jelas Ibu satu putri ini. 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button