Kanal

Pahlawan Kebudayaan


Kalau kita perhatikan majalah Seniman yang terbit dalam masa blokade Belanda terhadap Republik di Solo, maka di situ kita lihat barisan lengkap pelukis-pelukis yang memperjuangkan nasib tanah air dengan cat dan kain, tinta dan kertas, malahan cat atau arang saja, membikin lukisan-lukisan, poster-poster dan menulis semboyan-semboyan di tembok-tembok dan dinding-dinding kereta api.

Oleh     : H.B. Jassin*

MENGHUBUNGKAN kepahlawanan dengan kebudayaan, baik pada pendukung budaya maupun pada orang kebanyakan akan menimbulkan rasa keengganan untuk mengakui kebenarannya. Pada seniman sendiri perkataan pahlawan akan segera mengingatkan kepada aksi luar yang kelihatan, sedang pada mereka yang utama ialah pribadi batin yang jika perlu baru akan berwujud kepahlawanan, tapi yang tidak akan disebutkan oleh mereka demikian. 

Kepahlawanan segera mengingatkan pada gemerincing senjata, sedang pendukung budaya pada umumnya adalah orang yang perasa, yang oleh pembawaannya lebih suka merenungkan dan menciptakan keindahan. Dan orang kebanyakan mengenal seniman-seniman dari sudut ini semata. Seniman-seniman bagi mereka adalah pemenung-pemenung yang sehari-harian kerjanya luntang-lantung tidak karuan. Karena itu bagi mereka orang-orang kebudayaan sukar akan disebut pahlawan- pahlawan.

Tapi seniman-seniman sebenarnya adalah kumpulan tenaga batin atu bangsa. Pada mereka terkumpul dan terbentuk kekayaan (atau kemiskinan) batin bangsa, pada penyair-penyair, pengarang-pengarang, pelukis-pelukis, pemahat-pemahat, kom-ponis-komponis dan lain-lain pencipta. Dan sebagai kumpulan tenaga batin, mere-ka mungkin merupakan pemancar tenaga batin melalui ciptaan-ciptaan mereka, berupa sajak-sajak, cerita-cerita, drama-drama, lukisan-lukisan, pahatan-paha-tan, lagu-lagu, dan sebagainya.

Maka tidaklah mengherankan apabila Jepang pada mula pertama mereka menda-rat segera mencari dan mengumpulkan tenaga-tenaga batin ini dan mencoba mengikatnya dalam hubungan Pusat Kebudayaan atau Keimin Bunka Shidosho, suatu usaha yang ternyata Remudian tidak menghasilkan apa yang dimaksud mereka, yakni menyokong peperangan mereka, karena jiwa asli tidak bisa diperkosa. Bagaimana reaksi jiwa penyair-penyair dan pengarang-pengarang Indo-nesia di masa itu dalam garis besarnya bisa dilihat dalam Kumpulan “Kesusasteraan Indonesia di Masa Jepang”, terbitan Balai Pustaka (1948). 

Reaksi yang paling kuat meletus dalam diri Chairil Anwar, pada permulaan tahun 1943, segera sesudah Jepang mendarat. Penderitaan umum yang disebabkan oleh tekanan penjajahan Jepang yang dijalani diam-diam mendapat bentuk dalam sajak-sajak Chairil Anwar, yang dengan tepat bisa disebut Pelopor Angkatan 45, tahun proklamasi tiga tahun kemudian dari hasrat bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Sajak semangat yang ditulis Chairil Anwar semasa Jepang ialah “Aku” (Aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang) dan “Dipo Negoro“. Yang menjadi sangat terkenal sesudah revolusi ialah: Kenang, kenanglah kami (“Krawang-Bekasi”). 

Sajak-sajak ini bukan yang terbaik dari sajak-sajaknya, akan tetapi yang paling kuat memberi tenaga batin kepada bangsa, yang sedang berjuang. Penyair lain saya sebutkan Rivai Apin, dengan sajaknya “Elegi” (Ratapan), lukisan kesedihannya yang besar yang juga lukisan kesedihan bangsa Indonesia seluruhnya tatkala Belanda untuk kedua kalinya menyerbu ke Yogya dan menduduki kota itu. Dalam hal ini Chairil Anwar dan Rivai Apin adalah pahlawan-pahlawan yang membangkitkan dan memperteguh semangat perjuangan bangsa, meskipun mereka tidak berjuang dengan senjata.

Usmar Ismail, penyair dan pengarang, terutama terkenal sebagai sutradara (regisseur) dan penulis sandiwara, kemudian bergerak di lapangan film, semenjak Jepang memupuk rasa kebangsaan dan ketuhanan pada putra-putri Indonesia dalam bentuk sajak-sajak dan drama-drama. Dia mendirikan perkumpulan sandiwara-penggemar “Maya” sebagai pengimbang Pusat Kebudayaan dan sesudah revolusi berkobar mendirikan surat kabar Patriot dan majalah kebudayaan Arena di Yogya.

Rosihan Anwar, penyair, pengarang dan wartawan, dengan reportase-reporta-senya yang segar dan berapi-api pada permulaan revolusi mengobarkan hati pembaca dengan kisah-kisah perjalanannya ke front Bandung, Surabaya, Tange-rang, Krawang-Bekasi, kemudian ke Indonesia Timur melaporkan sandiwara Van Mook yang menggemaskan hati karena liciknya.

Dan demikianlah umumnya seniman-seniman di masa revolusi: berdiri di pihak bangsanya, karena mereka jiwa bangsanya.

Menengok kita ke lapangan lain. Sudjojono, Bapak Seni Lukis Indonesia Baru, dengan seninya ikut menghangatkan semangat perjuangan dan tidak ragu-ragu ikut berjuang di pihak gerilya. Kalau kita perhatikan majalah Seniman yang terbit dalam masa blokade Belanda terhadap Republik di Solo, maka di situ kita lihat barisan lengkap pelukis-pelukis yang memperjuangkan nasib tanah air dengan cat dan kain, tinta dan kertas, malahan cat atau arang saja, membikin lukisan-lukisan, poster-poster dan menulis semboyan-semboyan di tembok-tembok dan dinding-dinding kereta api.

Juga Cornel Simandjuntak, pelopor seni musik Indonesia Baru adalah pahlawan kebudayaan. Lagu “Pembela Tanah Air” yang diciptakannya semasa Jepang untuk menggembirakan tentara Indonesia yang dibentuk oleh Jepang, membenihkan rasa pribadi pada tentara maupun pada orang biasa yang mendengarkannya. Dia menimbulkan rasa percaya pada diri sendiri dan mengalirkan kekuatan baru dalam tubuh putra-putri Indonesia. Dan merasa belum cukup mengobarkan semangat saja, tatkala berkobar revolusi, segera Simandjuntak memanggul senjata, mengorbankan kesehatan dan jiwanya kepada cita-cita yang mulia.

Seniman yang sesungguhnya merasakan lebih dalam dan lebih halus kemurnian nilai-nilai kehidupan, dan dengan sendirinya menjadi musuh dari kelaliman, ketidakadilan, kepalsuan, dan ketidaksewajaran. Hal ini terbayang dalam ciptaan-ciptaan mereka, meskipun hanya berupa ratapan dan tangisan, sehingga mereka lebih luas bisa disebut pahlawan-pahlawan untuk keadilan, kebenaran, dan kejujuran. [ ]

Oktober 1950

*H.B Jassin, Dr. (HC). Hans Bague Jassin, S.S., M.A., Ph.D., yang lahir 31 Juli 1917 dan meninggal 11 Maret 2000, adalah seorang penulis, penyunting, cendekiawan Muslim dan, terutama, kritikus sastra Indonesia paling terkemuka hingga saat ini. Beliau mendapat julukan “Paus Sastra Indonesia”. Dari sukunya, ia mendapatkan gelar adat Pulanga Gorontalo,”Ti Molotinepa Wulito” (Putra terbaik yang menguasai bahasa). 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button