Kanal

Paman Sam Tak Berdaya: ‘Bekingi’ Israel atau AS ‘Runtuh’

“Jika Amerika meninggalkan Israel dan Yahudi, itu adalah akhir dari Amerika”

Dennis Prager – Tokoh Yahudi konservatif terkemuka di Amerika Serikat (AS)

Melanjutkan ‘tradisi’ para pendahulunya, Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden berjanji akan terus mendukung Israel dalam rangka mempererat hubungan diplomatik yang dibangun sejak tahun 1948. Pada perang dengan Palestina yang terjadi sejak Sabtu (7/10/2023) lalu, AS langsung meluncurkan kapal induk tercanggih dan terbaru dari angkatan laut, USS Gerald R.Ford, dan beberapa peralatan, sumber daya, serta amunisi.

Konsistensi AS dalam mendukung Israel kerap membuat orang penasaran. Sudah 75 tahun lamanya AS mendukung Israel dalam peperangan dengan berbagai negara untuk mempertahankan daerah teritorialnya.

Kesetiaan ini tentu tidak cuma-cuma, AS memiliki kepentingan di balik ini semua. Setidaknya faktor ekonomi dan politik, yang paling masuk akal menjadi alasan konsistensi dukungan AS terhadap Israel, selama 3/4 abad.

Menarik mundur ke belakang, dukungan AS memang sangat terkait dengan kondisi dunia saat Perang Dingin (1947-1991). Bagi AS, Timur Tengah adalah wilayah potensial sebab kaya minyak bumi. Dan Israel dipandang sebagai alat yang berguna untuk menahan pengaruh Soviet di Timur Tengah, selama Perang Dingin.

Brent Sasley, seorang ilmuwan politik di University of Texas, mengatakan pandangan terhadap Israel sebagai kekuatan untuk stabilitas, dimanfaatkan secara maksimal agar tetap bisa mempertahankan dukungan AS bagi segala kebijakan politiknya, terhadap negara-negara sekitar, utamanya Palestina. Faktor strategis ini menjelaskan mengapa pendekatan AS terhadap Israel secara luas cenderung konsisten.

Tapi ada juga kemungkinan, AS tidak berdaya hadapi Israel karena pengaruh para konglomerat berdarah Yahudi yang pro Israel sangat mencengkram para petinggi negeri Paman Sam. Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengatakan, Yahudi jangan dipandang dari sisi agama, melainkan dari sisi kekuatan ekonomi dan politik. Salah besar jika mengaitkan konflik Palestina-Israel sebagai sentimen agama, karena persoalan ini murni politik.

Menurutnya, kekuatan pelobi Yahudi pro Israel di AS luar biasa kuat. Pengaruh mereka bisa membuat AS menggelontorkan dana miliaran dolar untuk menjaga keamanan Israel. Pada Tahun 2020, AS bahkan menggelontorkan dana bantuan ke Israel sejumlah 3,8 miliar dolar atau setara dengan Rp55 triliun.

“Lobi-lobi Yahudi sangat kuat. Perekonomian Amerika dipegang oleh orang-orang Yahudi. Setiap calon presiden maju, pasti disokong oleh mereka. Tentu kalau jadi presiden, ada kepentingan dari lobi Yahudi ini, ya pastilah mereka akan ikuti apa yang dikatakan Yahudi. Timbal baliknya lindungi Israel, dan membenarkan tindakan yang Israel lakukan terhadap Palestina,” ujarnya saat dihubungi Inilah.com di Jakarta, dikutip Minggu (15/10/2023).

post-cover
Aksi warga Amerika Serikat mendukung Israel. (Foto: Associated Press)

Ucapan Hikmahanto selaras dengan Sejarawan dari University of Illinois, Mark Weber, dalam tulisannya di situs Institute for Historical Review (IHR), yang mengutip beberapa ahli, salah satunya adalah profesor dari University of Chicago, Benjamin Ginsberg.

Dalam tulisannya berjudul “The Fatal Embrace: Jews and the State” pada tahun 1993, Ginsberg menuliskan bahwa Yahudi memang jumlahnya sedikit di AS, tapi peran mereka signifikan. Sejak tahun 1960-an, Yahudi mulai berperan di sektor ekonomi, budaya, pendidikan dan politik AS.

“Hampir setengah dari miliarder adalah Yahudi. Direktur eksekutif dari tiga jaringan televisi dan empat studio film besar adalah Yahudi, dan pemilik jaringan koran terbesar negara ini adalah Yahudi,” tulis Ginsberg.

Dalam literatur lain berjudul “Jews and the New American Scene” terbitan Harvard University tahun 1995, Yahudi disebut mencakup 50 persen dari 200 intelektual terkemuka AS, 20 persen profesor di universitas paling ternama dan 40 persen pengacara di firma hukum New York dan Washington.

Orang-orang kaya Yahudi di AS juga tidak segan menggelontorkan dana untuk calon pemimpin AS, agar bisa mendahulukan kepentingan Israel. Salah satu donatur paling terkenal adalah Sheldon Adelson, miliarder Yahudi taipan hotel dan kasino. Pemilik hotel Marina Bay Sands di Singapura ini mendonasikan uang 100 juta dolar AS atau lebih dari Rp1,3 triliun untuk membiayai kampanye Donald Trump.

Lalu ada yang namanya The American Israel Public Affairs Committee (AIPAC), lembaga pelobi Yahudi pro Israel. Didirikan tahun 1963, AIPAC kini beranggotakan 100 ribu orang dan memiliki 17 kantor cabang di seluruh AS. Tugas AIPAC adalah melancarkan lobi yang canggih terhadap anggota dewan di Capitol, Washington DC. Mereka tahu caranya menggiring keputusan anggota dewan sehingga menguntungkan Israel.

Dana mereka juga luar biasa besar, dari sumbangan para donatur Yahudi kaya. Tahun 2015 contohnya, mereka sudah merogoh kocek lebih dari 4,1 juta dolar AS untuk keperluan lobi. Begitu pentingnya AIPAC, setiap calon presiden yang akan maju dalam pemilu harus menyampaikan visi dan misi mereka kepada organisasi lobi ini.

Langkah ini pernah dilakukan Donald Trump dan Hillary Clinton, karena secara politis, menyerah pada AIPAC sangat menguntungkan, sebab pendukung mereka banyak. Menentang AIPAC berarti juga berhadapan dengan musuh raksasa yang sulit dikalahkan.

post-cover
Ilustrasi pernyataan Presiden Joe Biden yang ingin maju lagi pada Pilpres 2024, pada  Selasa (25/4/2023). (Foto: Associated Press)

Selain itu, ada juga ketakukan terhadap labelisasi anti-semit. Hal ini yang membuat pemerintah AS berhati-hati dalam membuat kebijakan yang menyangkut kepentingan Israel. Fakta ini pernah disampaikan oleh seorang teolog sekaligus uskup asal Afrika Selatan, Desmond Tutu dalam ceramahnya di Boston, AS pada 2002 silam.

“Pemerintah Israel ditempatkan di atas tumpuan, dan mengkritiknya langsung disebut anti-semit. Orang-orang di negara ini (AS) takut, untuk mengatakan yang salah itu salah karena pelobi Yahudi kuat, sangat kuat,” ujar peraih Nobel Perdamaian tahun 1984 itu.

Biden Ingin Menang Pemilu

Hubungan antara AS dan Israel bukan lagi kalkulasi strategis kebijakan luar negeri. Tetapi juga ajang popularitas politik dalam negeri. Pada 2020 lalu, Pew Research Center mempublikasikan riset “U.S. Jews’ connections with and attitudes toward Israel”. Riset tersebut memaparkan koneksi emosional antara kedua negara, diketahui kalau 6 dari 10 orang Yahudi AS menyebut mereka sangat terikat secara emosional.

Selain itu dipaparkan juga kalau 54 persen orang Yahudi-Amerika menganggap dukungan kepada Israel adalah langkah yang tepat. Besarnya dukungan ini dibarengi juga oleh fakta bahwa mereka adakah konstituen utama dalam kancah politik AS, baik di Partai Republik dan Partai Demokrat.

Tentu hal ini menjadi bahan pertimbangan bagi Presiden Joe Biden, mengingat ia akan maju lagi dalam pemilu yang akan terselenggara pada 5 November 2024. Biden secara resmi mengumumkan dirinya kembali maju dalam pemilihan presiden.

Dia meminta para pemilih memberikan kesempatan lebih kepadanya untuk menyelesaikan tugas dengan memperpanjang masa jabatan presiden tertua Amerika untuk empat tahun lagi. Ia ingin meneruskan perjuangan yang berat untuk menyembuhkan kondisi negara yang diklaim Biden telah terbelah, imbas masa kepemimpinan Presiden Donald Trump.

“Saya mengatakan kita berada dalam pertempuran untuk jiwa Amerika, dan kita masih berada di dalamnya. Pertanyaan yang kita hadapi adalah apakah di tahun-tahun mendatang kita akan memiliki lebih banyak kebebasan atau lebih sedikit kebebasan. Lebih banyak hak atau lebih sedikit hak,” kata Biden, Selasa (25/4/2023), dikutip dari Associated Press.

Jadi, dengan mendukung Israel, sebetulnya para pejabat Washington, utamanya Biden, bisa mengamankan posisi politik mereka di dalam negeri. Suara kaum Yahudi adalah ceruk potensial yang bisa menjadi mesin pendulang suara saat pemilu. Artinya, untuk merubah dukungan AS terhadap Israel sangat sulit dilakukan. Karena ini semua bukan hanya kebijakan strategis politik luar negeri. [Reza/Reyhaana]  

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Lihat Juga
Close
Back to top button