Ototekno

Panasnya Bumi di 2023 Jadi Alarm Bahaya Pemanasan Global, Tapi Siapa yang Peduli?


Tahun 2023 menjadi tahun yang tak terlupakan dalam sejarah perubahan iklim Bumi. Catatan baru telah terukir, menempatkan tahun ini sebagai periode dengan suhu terpanas sejak pencatatan global dimulai pada 1880. Di balik catatan memprihatinkan ini tersembunyi cerita tentang EL Nino dan dampak signifikan dari pemanasan global akibat emisi.

Penelitian dari berbagai lembaga ternama seperti GISS NASA, NOAA, WMO, dan C3S Uni Eropa telah menunjukkan bahwa suhu rata-rata musim panas di Bumi pada tahun 2023 lebih tinggi 1,2 derajat Celsius dibandingkan periode 1951-1980. Fenomena ini bukan hanya sebuah anomali, melainkan sebuah bukti dari tren pemanasan jangka panjang yang didorong oleh emisi gas rumah kaca hasil aktivitas manusia.

Indonesia dalam Pusaran Pemanasan Global

Indonesia pun merasakan dampaknya. BMKG mencatat kenaikan suhu sebesar 0,4 derajat Celsius. Kondisi ini tidak hanya mencerminkan perubahan global, tetapi juga memperjelas urgensi aksi iklim di tingkat nasional.

Senior Manager, Energy and Suistainable Business World Resources Institute (WRI) Indonesia, Clorinda Kurnia Wibowo mengungkapkan dampaknya.

“Kita sudah merasakan dampak iklim yang terjadi. Kalau dilihat sehari-hari, kita merasakan suhu lebih panas, mungkin AC lebih sering dinyalain, banjir terjadi tiba-tiba, hujan yang harusnya mungkin kuota hujan 1 minggu dihabisin dalam 1 hari, sehingga banjir di mana-mana,” ujar Clorinda saat Talkshow Beyond Carbon Neutral di kawasan Jakarta Barat, baru-baru ini.

Konferensi Perubahan Iklim ke-28 atau COP28 di Dubai menjadi arena bagi negara-negara untuk menanggapi krisis ini. 

post-cover

Namun, meski tercapai kesepakatan historis tentang peralihan dari bahan bakar fosil, banyak pihak merasa kesepakatan ini belum cukup kuat untuk menangani krisis yang kita hadapi. 

Sekretaris Eksekutif Perubahan Iklim PBB Simon Stiellmenilai hasil kesepakatan COP28 yang tak tegas menyerukan untuk menghentikan penggunaan migas menyisakan banyak ruang interpretasi. Hal ini membuka celah yang mengikis komitmen menekan emisi hingga meningkatkan dampak perubahan iklim.

Dalam konteks di Indonesia, kesepakatan tersebut juga dianggap tidak akan cukup kuat mendorong upaya transisi energi di dalam negeri. Sebab, selama ini Indonesia juga masih sangat bergantung pada penggunaan energi fosil, khususnya batubara.

Hasil kesepakatan COP28 yang tak tegas menyerukan untuk menghentikan penggunaan migas menyisakan banyak ruang interpretasi.

Di Indonesia, transisi energi masih menghadapi tantangan besar. Penelitian dari LPEM FEB-UI dan Greenpeace Indonesia menyoroti ‘coal lock-in’ atau ketergantungan pada batubara. Meski COP28 menetapkan norma baru dalam transisi energi, kesepakatan ini dianggap belum cukup mendorong perubahan signifikan dalam kebijakan energi nasional.

Aksi Global dan Nasional Mendesak

Laporan IPCC menegaskan kebutuhan untuk pengurangan emisi yang lebih ambisius. Dunia harus mengurangi emisi 43 persen dari tingkat 2019 dalam enam tahun ke depan, dan mencapai nol emisi pada 2050 untuk menghindari dampak perubahan iklim yang lebih parah.

Rekor suhu terpanas tahun ini harus menjadi titik balik bagi seluruh negara dalam mengatasi krisis iklim. Tidak ada waktu lagi untuk tindakan setengah hati. Pergantian tahun ini harus menjadi momentum untuk berkomitmen penuh terhadap aksi iklim yang lebih ambisius dan bertanggung jawab.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button