News

Perang Melawan Teror di Indonesia dan Asia Tenggara Sudah Selesai?

Pada awal tahun 2000-an serangan teror melanda Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara. Kini jaringan terorisme semakin menyusut namun tidak ada yang meyakini bahwa gerakan ini telah lumpuh. Siapa kira-kira yang muncul selanjutnya?

Indonesia sempat diguncang oleh pengeboman gereja malam Natal pada 24 Desember 2000 yang menewaskan 18 orang. Enam hari kemudian, Metro Manila di Filipina mengalami pemboman serupa yang menewaskan 22 orang.

Berlanjut pada tahun 2002, serangkaian pemboman melanda tempat hiburan malam populer di Bali, menewaskan lebih dari 200 orang dan menyebabkan sedikitnya 200 lainnya terluka. Pada tahun-tahun berikutnya, Hotel JW Marriott, Bursa Efek Filipina, dan konsulat, di Jakarta, diserang, begitu pula lokasi lainnya di Asia Tenggara.

Kelompok yang bertanggung jawab atas serangan tersebut adalah Jemaah Islamiyah (JI), yang anggotanya bercita-cita untuk mendirikan negara Islam garis keras di Indonesia dan di seluruh Asia Tenggara. Sering disebut dengan inisialnya, JI diduga memiliki operasi di Singapura, Malaysia, Kamboja dan Filipina, dan dikatakan terkait dengan kelompok lain, termasuk al-Qaeda dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) di Pulau Mindanao, Filipina. 

Meskipun JI bertanggung jawab atas daftar panjang kekejaman dan ratusan korban jiwa pada awal 2000-an, serangan terakhir yang tercatat adalah pemboman kompleks Polresta Cirebon di Jawa Barat pada tahun 2011 – kelompok ini, dan ketakutannya akan serangan teror, sebagian besar telah dilupakan. 

Mengutip laporan Al Jazeera, Pemerintah Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara terlihat secara efektif mengurangi ancaman regional. Berbeda dengan “perang melawan teror” yang dipimpin Amerika Serikat menyebabkan negara-negara terpecah belah dan wilayah-wilayah di dunia berada dalam kekacauan setelah serangan 11 September 2001.

“Awal tahun 2000-an tentu terasa berbahaya saat itu,” kata Zachary Abuza, seorang profesor di National War College di Washington, DC, kepada Al Jazeera. “Tetapi bom Bali benar-benar membuat Indonesia tidak berpuas diri. Undang-undang terorisme yang baru mengubah persepsi masyarakat mengenai tingkat bahaya yang dirasakan dan pihak berwenang mempunyai kebebasan untuk melakukan pekerjaan mereka tanpa campur tangan politik,” tambah Abuza.

Melemahkan JI

Pada saat terjadinya bom Bali di akhir tahun 2002, Indonesia belum memiliki undang-undang antiterorisme yang spesifik dan tepat sasaran. Undang-undang tersebut dengan cepat dirancang dan disahkan menjadi undang-undang pada tahun 2003 dan diterapkan secara surut terhadap beberapa pelaku penyerangan di pulau liburan populer tersebut.

Tiga anggota senior JI, Imam Samudra, Ali Ghufron dan Amrozi, segera ditangkap, diadili, dan dieksekusi pada tahun 2008 karena peran mereka mendalangi pengeboman. Pelaku keempat, Ali Imron, divonis penjara seumur hidup.

Pada tahun 2003, Hambali, seorang anggota JI yang berbasis di Malaysia, yang diduga bertanggung jawab mengamankan pendanaan untuk kelompok tersebut, ditangkap di Thailand setelah berbulan-bulan bersembunyi di ibu kota Kamboja, Phnom Penh.

Indonesia dan negara lain di kawasan ini terus menutup jaringan antara anggota JI dan para pemimpinnya. Pada tahun 2007, Abu Dujana, pimpinan operasi militer JI, ditangkap. Pada tahun 2010, Abu Bakar Bashir, “pemimpin spiritual” organisasi tersebut, ditangkap dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Dia dibebaskan pada awal Januari 2021.

“Tetapi JI sebagai sebuah organisasi masih tetap eksis dan pemerintah memberikan ruang yang luas bagi mereka untuk eksis, sehingga mereka dapat menjalankan madrasah, badan amal, dan bisnis,” katanya.

Pemerintah Indonesia secara resmi mendeklarasikan JI sebagai organisasi ilegal pada tahun 2008, namun pihak berwenang mengambil pendekatan yang lebih terukur dengan tetap memberikan otonomi pada anggotanya asalkan mereka tidak terlibat dalam kekerasan.

‘Jihad sebagai Perjuangan Spiritual’

Menurut Farihin, salah satu anggota JI yang berbasis di Indonesia, organisasi ini tetap aktif, meski kini telah mengubah filosofinya menjadi pasifisme dan fokus pada pekerjaan seperti pengajaran agama dan gerakan sosial lainnya. “Saat ini tidak ada fokus pada kekerasan,” katanya kepada Al Jazeera.

“Hanya jihad sebagai perjuangan spiritual untuk menjaga diri dari dosa-dosa pribadi kita sebagai individu,” ujarnya. “Semua agama memiliki konsep ini dalam beberapa bentuk.”

Meskipun Farihin masih menggambarkan dirinya sebagai anggota JI, ia mengatakan bahwa kelompok aslinya telah berkali-kali terpecah selama bertahun-tahun, karena perbedaan pandangan dan opini.

Perbedaan pendapat ini sering disebut-sebut sebagai alasan lain keberhasilan pendekatan regional terhadap apa yang disebut “perang melawan teror” – yang merupakan perpaduan antara perselisihan politik internal dan operasi keamanan eksternal.

Apa dampak sebenarnya dari apa yang disebut ‘Perang Melawan Teror’?

Pada tahun 2007, Abuza menceritakan, JI dilanda oleh faksionalisme ketika anggota organisasi yang tersisa saling berebut kekuasaan dan berselisih mengenai cara membuat cetak biru operasi mereka ke depan. “Abu Dujana mempunyai ide yang berbeda terhadap organisasi tersebut dan merasa bahwa mengebom orang asing bukanlah cara untuk mencapai tujuannya,” kata Abuza.

Cukup banyak anggota JI yang berpendapat bahwa yang terbaik adalah bersembunyi setelah bom Bali dan serangan itu tidak produktif. “Abu Dujana tidak berargumentasi bahwa membunuh orang asing adalah salah secara moral, hanya saja tindakan tersebut tidak produktif karena, dengan setiap serangan dan penangkapan berikutnya, organisasi tersebut semakin lemah.”

Upaya Kontraterorisme Terus Berlanjut

Indonesia juga telah mencapai kemajuan besar dalam menciptakan kerangka kerja kontraterorisme yang efektif yang telah secara signifikan melemahkan jaringan penyerang potensial di seluruh kawasan, kata Alif Satria, peneliti di Departemen Politik dan Perubahan Sosial di Pusat Kajian Strategis dan Internasional di Indonesia.

“Pertama adalah pembentukan Densus 88 pada tahun 2003 melalui bantuan negara lain. Hal ini memastikan bahwa Indonesia memiliki unit kontraterorisme yang berfungsi dengan baik dengan intelijen dan keterampilan operasional yang diperlukan untuk membongkar jaringan,” kata Ali kepada Al Jazeera.

Densus 88 atau Detasemen Khusus Anti Terorisme 88, merupakan unit yang dibentuk pada tahun 2003 di bawah payung Polri dan didanai, diperlengkapi, dan dilatih sebagian oleh AS dan Australia.

Satria menambahkan, tonggak sejarah lainnya adalah dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun 2010. Program deradikalisasi yang dipimpin oleh polisi pada awal tahun 2000-an juga penting untuk memastikan bahwa mereka yang ditangkap tidak kembali terlibat dengan kelompok garis keras setelah mereka dibebaskan. 

“Hasilnya, Indonesia berhasil menjaga tingkat residivisme di kisaran 11 persen,” ujarnya. Namun, upaya kontraterorisme yang dilakukan oleh pihak berwenang Indonesia masih berlangsung.

Siapa yang Akan Muncul Selanjutnya?

Pengumpulan data sumber terbuka menunjukkan bahwa antara tahun 2021 dan 2023, lebih banyak anggota JI yang ditangkap dibandingkan anggota kelompok lain seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD), sebuah kelompok yang berafiliasi dengan ISIS yang bertanggung jawab atas serangan baru-baru ini di Indonesia dan wilayah yang lebih luas.

Beberapa insiden yang terjadi termasuk pemboman Surabaya pada tahun 2018 di mana tiga gereja Kristen di kota Surabaya diserang oleh sepasang suami istri dan empat anak mereka, salah satunya baru berusia sembilan tahun. Lima belas orang tewas.

Kelompok yang sama juga berada di balik pengeboman Katedral Jolo di Sulu, Filipina pada tahun 2019 yang menewaskan 20 orang. “Antara tahun 2021 hingga 2023, terdapat sekitar 610 orang yang ditangkap, 42 persen di antaranya adalah JI dan 39 persen JAD serta kelompok pro ISIS lainnya,” kata Satria.

“Bagi saya, ini menunjukkan bahwa meski tidak melakukan penyerangan, JI masih aktif, baik dalam melakukan rekrutmen, penggalangan dana, maupun mempersiapkan kaderisasinya,” ujarnya.

Abuza dengan nada hati-hati menyebut setuju, dan mengatakan bahwa kurangnya kepemimpinan yang jelas dalam skala global bagi kelompok-kelompok garis keras juga berkontribusi pada soliditas dari kelompok tersebut. Namun hal itu bisa berubah dengan cepat.

“Organisasi-organisasi ini adalah organisasi yang hidup dan merespons lingkungan eksternal,” kata Abuza. “Semua orang menunggu untuk melihat apa yang terjadi di Timur Tengah dan siapa yang akan muncul sebagai pemimpin,” katanya. “Seseorang akan melakukannya,” tambahnya. 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button