News

Subsidi Licik Kendaraan Listrik: Kisah Pilih Kasih Subsidi Pemerintah

Kritik soal subsidi kendaraan listrik yang diberikan pemerintah kepada kalangan berpunya kembali bergaung ketika bakal capres Anies Baswedan menggaungkan ulang. Benarkah ada konflik kepentingan di lingkaran dalam Istana soal subsidi ini?

Momen deklarasi relawan Amanat Indonesia (Anies) di Jakarta, Ahad dua pekan lalu, tampaknya menandai diterapkannya ‘jurus baru’ oleh Anies Baswedan dalam perjuangannya menuju kursi RI-1. Jika sebelumnya lebih sering mengalah dan bertahan, pidato Anies di acara itu justru ‘menyerang’. Laiknya Sun Tzu yang percaya bahwa menyerang adalah pertahanan terbaik, sejak itu Anies mulai memakai jurus offensive.

Mungkin anda suka

Saat itu Anies menyampaikan kritik keras. Kala mewanti-wanti soal pertumbuhan ekonomi yang harus berkualitas, merata dan dirasakan semua, Anies menunjukkan contoh menohok. “Saya beri contoh konkret: apa urgensinya memberikan subsidi mobil listrik? Siapa yang menikmati subisidi kendaraan pribadi bertenaga listrik? Apakah seluruh rakyat bisa menikmati?” tanya Anies, retoris.

Tak hanya kemudian menyoal fakta bahwa emisi karbon mobil listrik per kapita per kilometer lebih tinggi daripada emisi karbon bus BBM, Anies juga mempertanyakan mengapa bukan bus listrik –mode transportasi massal– yang disubsidi habis-habisan?

“Siapa yang bisa pakai mobil listrik? Apalagi kebanyakan dibeli sebagai kendaraan kedua, bukan sebagai kendaraan satu-satunya. Sebaliknya, siapa yang bisa pakai bus? Semua orang! Karena bus adalah transportasi umum massal. Transportasi yang mempertemukan dan mempersatukan, bukan memisah-misah.” Anies kemudian menyimpulkan, kendaraan pribadi, apakah berbahan bakar minyak ataupun listrik, malah mungkin menambah kemacetan di jalanan kota.

Karuan saja banyak elite pemerintah gerah bahkan mungkin murka. Segera, tak kurang dari empat menteri/pimpinan lembaga negara seolah berebutan mengeroyok pernyataannya. Tak kurang dari Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Kepala Staf Presiden Moeldoko, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita. Sempat meletik kabar akan adanya semacam debat di antara Anies dengan mereka, meski kemudian berita itu luruh dan bahkan padam sendiri.

Yang pertama kali merespons adalah Menko Marves Luhut Panjaitan dua hari kemudian. Entah terprovokasi pertanyaan wartawan atau mungkin tengah dalam suasana hati yang buruk, respons Menko Luhut terkesan agak meradang. “Siapa yang berkomentar, suruh dia datangi saya langsung,” kata Luhut, pada acara ‘Hilirisasi dan Transisi Energi Menuju Indonesia Hebat’, di Jakarta, Selasa (9/5/2023). “Biar saya jelaskan bahwa tidak benar omongannya.”

Pilih Kasih Subsidi
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan [foto: Antara]

Seraya meminta pihak yang mengkritik harus paham terlebih dahulu soal mobil listrik, Luhut mewanti-wantinya untuk tidak melawan tren yang tengah mendunia. “Jadi, jangan kita melawan arus dunia juga. Siapa yang berkomentar, saya tidak tahu mengenai itu,” kata Luhut.

Menko Luhut juga tak terima jika kebijakan yang ia dorong hingga sering ‘berantem’ dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani itu disebut tidak tepat sasaran. “EV (kendaraan listrik) itu saya dorong habis-habisan. Saya kadang berkelahi dengan Menkeu. Mereka bilang, ‘Wah ini insentif’. Ini kan (untuk mengurangi) emisi karbon. Harus kita dorong, kasih insentif juga,” ujar Luhut.

Sementara Kepala Staf Presiden Moeldoko yang juga Ketua Umum Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (Periklindo), lebih menyoroti kritik itu pada sisi subsidi. Kepada para wartawan yang menemuinya dalam acara pameran kendaraan listrik Periklindo Electric Vehicle Show (PEVS) 2023 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (17/5/2023), Moeldoko mengatakan masih banyak masyarakat belum memahami konsep dasar subsidi dan insentif. “Saya masih sering menanggapi situasi semacam ini, jadi perlu ditegaskan jika insentif kendaraan listrik dan subsidi kendaraan listrik itu berbeda,” kata dia.

Menurut Moeldoko, insentif untuk perorangan dititikberatkan untuk motor listrik yang diperuntukkan bagi golongan masyarakat yang dianggap memenuhi syarat. Adapun golongan penerima manfaat subsidi kendaraan listrik menurutnya adalah pelaku UMKM, penerima KUR, penerima bantuan produktif usaha mikro atau BPUM, dan bantuan subsidi upah.

Pilih Kasih Subsidi
Kepala Staf Presiden Moeldoko [foto: Antara]

Pada kesempatan terpisah, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasimita menjelaskan lebih rinci bahwa kisaran subsidi untuk Hyundai IONIC 5 sekitar Rp70 juta sampai Rp80 juta, sedangkan Wuling Air ev dapat Rp25 juta hingga Rp35 juta.

Semangat dari kebijakan itu, kata Moeldoko, untuk memacu masyarakat beralih ke kendaraan listrik. “Ini sebenarnya sebagai pemicu bagi masyarakat untuk membeli kendaraan listrik selagi ada insentif. Pada sisi lain, juga menjadi pemacu bagi industri untuk memenuhi permintaan. Supaya seimbang supply dan demand-nya,” kata dia.

Tentang Menko Luhut dan KSP Moeldoko, ekonom Faisal Basri menyebut keduanya lekat dengan konflik kepentingan. “Ya kurang apa lagi? Istilahnya ‘Fabiayyi Ala Irobbikuma Tukadziban‘. Nikmat mana lagi yang hendak kamu dustakan? Karena pemainnya itu Moeldoko, Luhut Panjaitan, ada di situ konflik kepentingan,” ujar Faisal, seperti ditulis m.bizlaw.id, 10 Januari 2023.

“Untuk informasi, Moeldoko merupakan pendiri dari PT Mobil Anak Bangsa (MAB), sebuah perusahaan penghasil bus listrik. Sementara itu, Luhut melalui PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA) sempat berencana membangun sebuah perusahaan kendaraan listrik. Luhut diketahui masih memiliki sekitar 10 persen saham di perusahaan ini melalui PT Toba Sejahtera (TS). Meski demikian, belakangan Luhut melalui TS merupakan pemegang saham minoritas, hanya memiliki saham 9,99 persen,” tulis m.bizlaw.id.

Sementara Kompas.com pada 31 Januari lalu menulis, ‘Faisal Basri: Raja ‘Conflict of Interest’ Itu Moeldoko, Ada di Pusat Istana’. Isinya seputar kritik Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri seputar potensi benturan konflik kepentingan atau conflict of interest sejumlah anak buah Presiden Joko Widodo yang berkelindan dengan posisi strategis di dunia bisnis.

“Dua di antara sejumlah pejabat itu adalah Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko dan Menteri Koordinator Bidang maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Pernyataan ini Faisal kemukakan saat menjadi pemateri dalam acara ‘Peluncuran Corruption Perception Index 2022 oleh Transparency International Indonesia (TII)’,” tulis Kompas.com.

Pilih Kasih Subsidi
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri [foto: Antara]

Sejatinya, sebagai seorang master ilmu ekonomi dan doktor dalam kebijakan publik, Anies tentu saja mengerti betul arti insentif dan subsidi dalam ekonomi. Jadi, kalau penjelasan Menko Luhut dan Moeldoko itu ditujukan kepadanya, tampaknya para peresponslah yang salah interpretasi atas kritiknya.

Belakangan, wacana soal subsidi kendaraan listrik itu kian panas, saat terkuak adanya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2023 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2024, yang menganggarkan pengadaan mobil para pejabat negara. Misalnya, mobil listrik untuk pejabat eselon I akan diberikan hingga pagu Rp966 juta per unit.

“Intinya, Anies bukan mempersoalkan mobil listrik–yang memang telah jadi tren dunia menuju ‘zero emisi’—tapi soal subsidi pada orang kaya,” kata figur sentral dalam lingkaran dalam Anies, Widdi Aswindi. Menurut dia, poin yang tak boleh disamarkan atau dibuat kabur adalah bahwa ada subsidi buat mobil pribadi kedua atau ketiga orang-orang kaya, yang akan menambah jumlah mobil yang berkeliaran di jalan raya. Artinya, inti persoalan yang dikritik Anies adalah soal keadilan.

Untuk soal keadilan itu, Ketua Institusi Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas, menyatakan sepakat. “Kalau Pemerintah akan memberikan subsidi pengadaan kendaraan listrik, harusnya subsidi itu untuk angkutan umum,” kata Darmaningtyas kepada reporter Inilah.com, Emirald Julio.

Pemerintah, kata dia, dapat memberikan subsidi kepada para pengusaha angkutan umum untuk membeli bus listrik yang dapat dioperasikan secara komersial. Cara itu, selain akan mendorong pengembangan industri kendaraan listrik, juga dapat memperbaiki layanan angkutan umum dengan sarana transportasi yang lebih ramah lingkungan, dan dapat mengurangi kemacetan.

Darmaningtyas melihat, selain para orang kaya di sisi mobil listrik, yang menikmati subsidi itu juga korporasi-korporasi ojek online (ojol) melalui subsidi motor listrik. “Ada obral subsidi yang tidak tepat sasaran. Yang dapat membeli mobil listrik adalah golongan menengah ke atas. Jadi pemerintah justru memberikan subsidi untuk pengusaha ojek online dan orang kaya,” kata dia.

Darmaningtyas percaya, pemerintah sampai nekat mengeluarkan subsidi guna meningkatkan pembelian mobil listrik itu tak lepas dari surplus pasokan listrik di Jawa. “Sikap panik Pemerintah dengan mengobral subsidi bagi pembelian kendaraan listrik itu tidak lepas dari kebijakan yang salah mengenai pembangunan 35.000 megawatt yang digenjot sejak 2016 dan mengakibatkan kita yang di Jawa mengalami surplus pasokan listrik,” kata dia.

Bukan hanya Darmaningtyas yang melihat kebijakan subsidi kendaraan listrik itu salah sasaran. Guru Besar Transportasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Agus Taufik Mulyono juga menilai pengembangan ekosistem kendaraan listrik seharusnya diarahkan sebagai moda transportasi publik. “Fokus pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia ityu mestinya diarahkan pada transportasi massal. Kalau itu, saya setuju disubsidi,” kata Prof. Agus. Namun demikian, Prof. Agus menyatakan tujuan percepatan pemanfaatan kendaraan listrik ala pemerintah ini pun perlu diapresiasi karena dapat mengurangi polusi udara di sektor transportasi.

Alih-alih memberikan subsidi bagi pembelian kendaraan listrik pribadi, Prof Agus setuju jika subsidi itu diberikan pemerintah pada perusahaan atau operator yang mengelola transportasi massal berbasis kendaraan listrik.

Demikian pula pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah. Ia percaya kebijakan pengalihan dari mobil konvensional ke listrik itu akan berjalan baik bila dilakukan secara bertahap. Alih-alih langsung menggelontorkan subsidi untuk mobil listrik pribadi, Trubus meminta pemerintah untuk fokus mengalihkan subsidi itu ke transportasi umum berbasis listrik.

“Pakai saja cara Norwegia sebagai benchmark (patokan),” kata Trubus. “Harusnya semua moda transportasi umum itu dialihkan ke listrik, baru ke arah kendaraan pribadi. Kalau langsung (ke) kendaraan pribadi, itu jangka pendek dalam rangka mengalakkan industri mobil listrik.”

Bagi Trubus, subsidi yang kini diperuntukan buat orang kaya itu akan lebih baik bila dialihkan ke sektor pengentasan kemiskinan.

Agus Pambagio, pegiat kebijakan publik dari PH&H Public Policy Interest Group, menilai subsidi ala pemerintah untuk kendaraan listrik itu bukan hanya kurang tepat, tapi sangat tidak tepat. “Ngapain disubsidi?” tanya Agus dengan nada tinggi. “Kan yang punya mobil sudah pasti punya duit.”

Sebagaimana ahli-ahli sebelumnya, Agus lebih memilih subsidi itu untuk angkutan umum bersifat massal, supaya orang bisa naik angkutan umum dengan murah bahkan gratis.

Jika empat orang pengamat dan pegiat kebijakan publik di atas menyebutnya salah sasaran, bagi mantan menteri perdagangan pada Kabinet Jokowi I, Rachmat Gobel, kebijakan pemberian subsidi kendaraan listrik itu jelas-jelas salah. Bagi wakil ketua DPR RI itu, seharusnya pemerintah lebih memprioritaskan subsidi buat masyarakat yang memang diprioritaskan untuk dibantu, seperti petani maupun nelayan, ketimbang subsidi mobil listrik.

“Subsidi (itu) untuk yang papa, bukan untuk yang berdaya. Mari kita gunakan akal sehat dan nurani kita dalam bernegara,” kata Gobel, sebagaimana tertulis di laman resmi DPR RI. “Mana yang lebih prioritas dan urgent, membangun pertanian dengan mensubsidi petani dan pertanian, atau mensubsidi mobil listrik dan pengusaha kaya?” ujar dia lagi.

Pilih Kasih Subsidi
Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel [foto: Antara]

Seolah mengomentari pernyataan Moeldoko soal supplydemand dalam industri kendaraan listrik, Gobel menunjuk bahwa pembelian mobil listrik saat ini pun sudah harus antre berbulan-bulan. “Artinya, tidak ada masalah permintaan, sehingga tak perlu sampai dibantu dengan subsidi mobil listrik.”

Gobel juga menyatakan, di tengah pemberian subsidi kendaraan listrik, anggaran untuk subsidi pupuk justru terus mengalami penurunan. Ia menunjuk data bahwa pada 2019 anggaran subsidi pupuk sebesar Rp34,3 triliun, pada 2020 Rp31 triliun, pada 2021 Rp29,1 triliun, pada 2022 Rp25,3 triliun, dan pada 2023 Rp24 triliun. Artinya dalam lima tahun belakangan, subsidi pupuk berkurang hampir Rp10 triliun. Sementara, pupuk yang sulit diperoleh dan harganya mahal itu, tidak hanya penting buat petani, tapi juga buat ketahanan pangan negara.

Ada hal lain yang tersirat dalam kritik Anies, yakni ingatan bahwa tak boleh ada konflik kepentingan dalam pemerintahan. Misalnya, tidak sepatutnya market player juga sekaligus menjadi regulator, apalagi jadi regulator di banyak urusan.

Para pembangun demokrasi dan pejuang-pejuang kampiunnya percaya, demokrasi tak mungkin terbangun tanpa pembagian peran yang baik dan harmonis, serta sekuat mungkin menghindari dominasi. Karena itulah, mereka percaya bahwa untuk terbangunnya demokrasi perlu adanya pembagian peran. Sebagai contoh, dalam pemerintahan pun semua negara demokrasi menerapkan sistem Trias Politica yang digadang-gadang pertama kali oleh pemikir Prancis, Montesquie. Itu karena mereka percaya, kekuasaan atau otoritas yang berbeda di tangan yang sama, hanya akan membawa negara kepada keterpurukan.

Daron Acemoglu dan James A. Robinson, yang meneliti banyak bangsa yang mundur dan jatuh, menulis magnum opus mereka, ‘Why Nations Fail’. Di antaranya, menurut Acemoglu dan Robinson, pada negara yang mereka sebut memiliki institusi politik bersifat ekstraktif, yang ciri-cirinya, antara lain, terkonsolidasinya kekuasaan pada satu orang, partisipasi yang terbatas, kurang mengindahkan etika dan aturan hukum, penuh konflik kepentingan dan rangkap jabatan, dsb, kemungkinan menjadi negara gagal (soft state menurut ekonom Swedia, Gunnar Myrdal) itu begitu besar. Semoga negeri ini jauh dari semua itu. [Darmawan Sepriyossa/Emirald Julio]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button