Market

Ekonom Senior: Utang Era Jokowi Lebih Serampangan Ketimbang Era SBY

Ekonom senior Indef, Prof Didik J Rachbini mengkritisi ‘jor-joran’ utang di era Jokowi atau 1 dekade (2014-2023), sementara pertumbuhan ekonominya cukup kontet. Hanya berkutat di level 4-5 persen. Jauh berbeda dengan era SBY.

Pandangan kritis itu, disampaikan Prof Didik dalam rapat dengar pendapat dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR di Gedung DPR, Kamis (9/2/2023). Rektor Universitas Paramadina ini, membandingkan kebijakan utang periode 2004-2014 dengan 2014-2023. Kesimpulannya, urusan utang, era Jokowi tak ada lawan. Cukup agresif.

Pada 2004-2014 atau ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa, kata mantan anggota DPR asal PAN itu, rasio utang turun dari 43 persen menjadi 24 persen dari PDB. Artinya, utang benar-benar ditekan agar efisien. “Saat itu, penggunaan utang dijaga untuk sesuatu yang benar-benar diperlukan,” tutur pria kelahiran Pamekasan pada 2 Septmber 1960.

Bagaimana potret utang di era Jokowi? Kata Prof Didik, periode 2014-2023, rasio utang meroket dari 24 persen menjadi 41 persen dari produk domestik bruto (PDB). “Tapi anehnya pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen ke bawah. Artinya, utang ditarik digunakan secara tidak efisien. Saya berani katakan itu. Jadi yang diputuskan Banggar DPR soal utang kita, seharusnya dicatat, itu tidak efisien,” tegasnya.

Selanjutnya dia menyebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5 persen, tergolong rendah untuk kawasan Asean. Masih di bawah Vietnam dan Thailand. Pada 2020, semua indikator pertumbuhan ekonomi nasional masih merah, namun sekarang sudah mulai hijau. “Artinya sudah beranjak normal. Angka penjualan kendaraan bermotor sudah bergairah lagi. Hanya sektor konsumsi yang masih membaik,” ungkapnya.

Sebelum pandemi COVID-19, menurut catatan Prof Didik, ada keputusan DPR soal penarikan utang diturunkan dari Rp921 triliun pada 2019 menjadi Rp651 triliun pada 2020. Langkah Ini, semangatnya mirip dengan periode 2004-2014. Nettonya (utang) pada 2020 sebesar Rp449 triliun, karena ada yang jatuh tempo. Tidak jauh berbeda dengan 2019.

Ketika Corona masuk Indonesia pada 2020, lanjut Prof Didik, keputusan jor-joran utang diketok palu dengan alasan krisis ekonomi. Keputusan utang dipermudah melalui Perppu 01 Tahun 2020 tentang Perppu tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

“Alhasil, utang melompat Rp1.250 triliun, tetapi realisasinya Rp1.500 triliun. Inilah keputusan utang terbesar yang diputuskan di ruangan Banggar DPR ini. Ini keputusan yang belebihan dan salah. Di mana, dampaknya akan terus terjadi sampai beberapa dekade mendatang,” ungkap Prof Didik.

Pada 2008, kata Prof Didik, terjadi krisis ekonomi besar. Hampir separuh pasar modal dunia babk belur. Namun, pemerintah Indonesia saat itu, tidak serta merta membuat aturan yang membuat utang jor-joran alias serampangan. Untuk memperkuat anggaran dari defisit, pemerintah memanfaatkan dana Rp250 triliun yang belum digunakan pusat dan daerah.

Anehnya, pemerintahan Jokowi tidak meniru langkah tim ekonomi di 2008. Bisa jadi, karena politisi adalah budget maximizer dan tidak ada kontrol check and balances. Pada saat krisis, kegiatan pemerintah berhenti, kunjungan kerja DPR tidak akan ada, dan banyak lagi anggaran yang bisa digeser ke kesehatan.

“Tapi anehnya, saat krisis COVID-19 kemarin, pemerintah cenderung mengambil utang besar. Itu terlalu besar menurut saya dan dicatat dalam sejarah kebijakan kita. Sehingga pada penarikan utang berikutnya diketahui tetap di atas Rp1.000 triliun per tahun,” ungkap Prof Didik.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button