Kanal

Gula-Gula Politik Bansos untuk Berantas Kemiskinan


Sebagaimana dikatakan oleh Nelson Mandela, “kemiskinan bukan hal yang alamiah. Itu merupakan bikinan manusia dan bisa diatasi dan dibasmi melalui tindakan umat manusia. Dan mengatasi kemiskinan bukanlah langkah belas kasihan atau tindakan berderma. Melainkan penegakan keadilan. Melainkan penegakan hak asasi manusia yang mendasar.”

Menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024, Indonesia berlayar di tengah ombak dinamika politik dan ekonomi yang memuncak. Di sinilah program bantuan sosial (bansos) memainkan perannya, bukan hanya sebagai pelampung bagi rakyat miskin, tetapi juga sebagai alat dalam catur politik. Dari janji pemulihan ekonomi hingga tudingan sebagai alat politisasi, bansos berada di antara dua kutub kontras.

Rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo dianggap terlalu mengandalkan skema bansos untuk menekan angka kemiskinan. Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah dari Universitas Trisakti memperingatkan tentang potensi ketergantungan sosial akibat bansos. “Ini membuat masyarakat pasif, bergantung pada bantuan tanpa upaya mandiri,” ujarnya saat dihubungi inilah.com.

Dinamika serupa diungkapkan oleh Nailul Huda dari CELIOS, yang melihat bansos sebagai strategi penting dalam pengentasan kemiskinan, namun seringkali gagal dalam memberdayakan ekonomi. Selama sedekade terakhir, menurut dia, bansos justru ditonjolkan sebagai program untuk menekan angka kemiskinan.

post-cover
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) didampingi UKP Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Muhamad Mardiono (kiri) berbincang dengan pedagang saat mengunjungi Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (13/4/2023). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww)

Beberapa program yang diandalkan pemerintah selama satu dekade terakhir adalah Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Sehat (KIS), serta Kartu Indonesia Pintar (KIP).

“Di satu sisi, bansos dianggap vital untuk mengentaskan kemiskinan, namun di sisi lain, ia tampaknya tidak cukup ampuh untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” ungkap Huda.

Meneropong masa depan, janji penghapusan kemiskinan juga muncul dalam dokumen visi-misi tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilihan Umum 2024.

Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, misalnya, berambisi menekan angka kemiskinan ke 4-5 persen sampai 2029.

Sementara itu, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menawarkan janji penurunan angka kemiskinan ke level 6 persen. Adapun janji penurunan angka kemiskinan dari duet Ganjar Pranowo-Mahfud Md. sebesar 2,5 persen. Target ketiga pasangan itu tergolong ambisius, mengingat tingkat kemiskinan masih bertengger di kisaran 9 persen sebelum dan setelah masa pandemi.

Strategi Capres-Cawapres dalam Pengentasan Kemiskinan

Untuk mencapai aneka target penurunan angka kemiskinan itu, setiap pasangan calon menyiapkan beberapa strategi. Namun mereka tetap mengedepankan program bansos dalam dokumen visi dan misinya.

Pasangan Anies-Muhaimin misalnya, yang didukung oleh Koalisi Perubahan, mengambil pendekatan pragmatis dengan berjanji melanjutkan dan mengoptimalkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program Keluarga Harapan (PKH). Mereka berkomitmen untuk meningkatkan efektivitas penyaluran bantuan ini, menargetkan mereka yang paling membutuhkan.

Sedangkan dalam upaya merangsang pertumbuhan ekonomi, mereka mengusulkan kebijakan dan insentif yang mendukung sektor riil, dengan tujuan menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan mengaktifkan aktivitas ekonomi produktif.

post-cover
Capres nomor urut satu Anies Baswedan (kanan), Capres nomor urut dua Prabowo Subianto (tengah) dan Capres nomor urut tiga Ganjar Pranowo (kiri) berpegangan tangan usai beradu gagasan dalam debat perdana Capres dan Cawapres 2024 di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (12/12/2023). (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

Anies di beberapa kesempatan telah menegaskan pentingnya sektor industri padat karya dalam mengurangi angka pengangguran dan, sebagai akibatnya, angka kemiskinan. “Kami harus memprioritaskan pertumbuhan industri padat karya, karena bisa menciptakan peluang kerja yang lebih luas,” tegas Anies.

Di sisi lain, Prabowo-Gibran, dengan dukungan dari Koalisi Indonesia Maju, berkomitmen untuk memperkuat dan memperluas program-program pemerintahan Jokowi, dengan fokus khusus pada pemberian kartu jaminan kesejahteraan sosial dan kartu usaha. Mereka juga menargetkan pengembangan industri penghiliran, usaha mikro, kecil, dan menengah, serta menyediakan kredit usaha. Menurut Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, Eddy Soeparno, penciptaan lapangan kerja formal adalah kunci untuk mengurangi kemiskinan. “Kami menetapkan target realistis sebesar 6 persen dalam penurunan angka kemiskinan,” ujar Eddy, menunjukkan pendekatan yang pragmatis namun efektif.

Sementara itu, pasangan Ganjar-Mahfud menawarkan rencana ambisius dengan program Satu Kartu Terpadu Indonesia (KTP Sakti).

Cawapres Mahfud Md menyampaikan bahwa melalui KTP Sakti penyaluran bantuan sosial kepada masyarakat miskin akan lebih tepat sasaran. “Jaminan sosial, sekarang ini bantuan sosial itu yang dapat bukan orang miskin. Yang miskin dapat, tapi banyak yang tidak dapat, yang dapat malah orang yang punya mobil, pejabat. Karena tidak ada kartu (KTP) saktinya yang miskin itu siapa, ada di mana,” ujar Mahfud di Universitas Hasanuddin, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Menurut Wakil Ketua Umum Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Andi Gani Nena Wea, program ini bertujuan untuk mengintegrasikan semua bentuk bantuan sosial pemerintah, memastikan distribusi yang lebih efisien dan tepat sasaran.

Bansos rawan korupsi

Iming-iming program bansos memang kerap menjadi gula-gula dalam setiap masa kampanye pemilu. Menurut Zaenur Rahman dari Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM, praktik pork barrel atau politik gentong babi dalam penyaluran bansos menjadi hal umum, terutama dalam pemilihan kepala daerah dan selama pandemi COVID-19.

Zaenur mengungkapkan bahwa bansos sangat rentan terhadap korupsi, terutama dalam bentuk barang. Meski telah beralih ke uang tunai, tantangan penyalahgunaan tetap ada,

Di era pemerintahan Presiden Jokowi, setidaknya ada satu kasus bansos yang menyeret bekas Menteri Sosial, Juliari Peter Batubara, dan beberapa anak buahnya. Pada 23 Agustus 2021, Juliari divonis bersalah karena terbukti menerima suap Rp32,4 miliar dari rekanan penyedia paket bansos penanganan Covid-19.

post-cover
Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara (kanan) tiba untuk menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (1/4/2021). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.

Zaenur menyarankan agar pengawasan bansos harus lebih ketat, “Mulai dari inspektorat internal hingga pengawas eksternal harus dilibatkan,” katanya. Kejelasan dalam distribusi dan akuntabilitas menjadi kunci untuk memastikan bansos mencapai tujuan sebenarnya: memberdayakan masyarakat miskin dan mengurangi ketergantungan.

Pola Penganggaran Bansos dalam Politik

Ekonom muda dari Universitas Gadjah Mada, Bhima Yudhistira mencatat tren peningkatan anggaran bansos di tahun politik. “Setiap kali pemilu mendekat, anggaran bansos selalu meningkat,” ungkapnya.

Ini terlihat dari data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat menunjukkan peningkatan anggaran bansos satu tahun sebelum pemilu, baik di era Jokowi maupun SBY.

post-cover
sumber: katadata

Dari bantuan pangan beras hingga BLT El Nino, pola penyaluran bansos terus berkembang. Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto—anggota koalisi pendukung Prabowo-Gibran, menyatakan, “Pemberian BLT El Nino mungkin diperpanjang jika tepat sasaran.”

Namun, Ari Dwipayana dari Staf Khusus Presiden membantah adanya politisasi bansos, menekankan bahwa bansos adalah bagian dari strategi penanggulangan kemiskinan.

“Jadi tidak ada hubungannya dengan proses pemilu,” ujar dia.

Tren peningkatan anggaran bansos di tahun politik menimbulkan pertanyaan tentang motivasi sebenarnya di balik kebijakan ini. Bhima Yudhistira menyoroti bahwa meskipun anggarannya besar, efektivitas bansos seringkali rendah. “Risiko politisasi dan korupsi selalu mengintai,” katanya.

post-cover
Sejumlah warga dari keluarga penerima manfaat (KPM) antre mengambil BLT saat penyaluran bantuan sosial tahap II di Medan, Sumatra Utara, awal Desember lalu (Foto: ANTARA/Yudi/Spt)

Program bansos yang beragam, seperti bantuan pangan beras dan BLT El Nino, menambah kompleksitas situasi. Pada 2023, anggaran bansos meningkat signifikan, dengan dalih meringankan dampak El Nino. Namun, kritikus menilai ini sebagai manuver politik jelang pemilu.

Di tengah perdebatan politik dan ekonomi, bansos di Indonesia berdiri di garis tengah antara harapan dan kenyataan. Sebagai program yang seharusnya membebaskan masyarakat dari jerat kemiskinan, bansos sering kali terperosok dalam labirin politik dan korupsi. Diperlukan pendekatan yang lebih terstruktur, transparan, dan akuntabel untuk memastikan bansos benar-benar mencapai tujuan mulianya, bukan sekadar menjadi pion dalam permainan kekuasaan. [Inu/Harris/Rizki]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button