News

Uni Eropa Jegal Minyak Sawit RI, Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu

Indonesia dan segerombolan negara yang tergabung dalam Uni Eropa (UE) tengah berseteru. Beberapa produk asal Indonesia terutama produk minyak sawit terkena penjegalan dengan alasan isu lingkungan. Indonesia pun meradang dan menantang. Apakah larangan UE ini berhasil menekan Indonesia?

Uni Eropa (UE) telah resmi memberlakukan Undang-undang (UU) Anti-deforestasi atau EU Deforestation Regulation per 16 Mei 2023 lalu. Akibatnya, produk pertanian Indonesia, tak hanya minyak sawit, tapi juga sapi, kayu, kopi, kakao, hingga karet akan terkena dampak UU ini. UU ini akan menutup ekspor bagi produk pertanian atau perkebunan yang dianggap UE memicu deforestasi.

Komoditas yang paling banyak membuat tegang urat leher adalah minyak sawit. Sudah sejak sekitar 2017 lalu, seruan menolak produk minyak sawit asal Indonesia di negara-negara UE muncul. Pada Juni 2017, negosiator Uni Eropa setuju untuk menghentikan penggunaan minyak sawit dalam bahan bakar transportasi mulai tahun 2030. Dari sini perseteruan Indonesia dengan Uni Eropa terus meruncing.

Indonesia, Malaysia dan Thailand, yang memproduksi sebagian besar minyak sawit yang diimpor ke Eropa, telah memperingatkan sebelumnya bahwa mereka akan membalas apa yang mereka sebut tindakan proteksionis, jika larangan itu diberlakukan.

Pada November 2017, Indonesia bahkan sempat mengancam balik memblokir impor susu bubuk dari UE jika blok tersebut mendorong maju dengan resolusi untuk membatasi impor minyak sawit. Pada Maret 2019, Komisi Eropa menyimpulkan bahwa budidaya kelapa sawit mengakibatkan deforestasi yang berlebihan dan penggunaan bahan baku biofuel yang berbahaya, termasuk minyak kelapa sawit, harus dibatasi hingga tahun 2023 dan dihentikan secara bertahap pada tahun 2030.

Indonesia pun mengajukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) melawan UE pada 16 Desember 2019, mengklaim bahwa pembatasan blok tersebut terhadap biofuel berbasis minyak kelapa sawit tidak adil. Indonesia dan Malaysia menuduh UE mendiskriminasi minyak sawit di bawah rencana untuk memberlakukan batasan baru pada tingkat kontaminan makanan yang dikenal sebagai ester 3-MCPD (monochloropropane diol) yang ditemukan dalam minyak dan lemak olahan.

Dewan Negara Penghasil Minyak Kelapa Sawit (CPOPC), yang dipimpin oleh Indonesia dan Malaysia, mempertanyakan keputusan UE untuk memberlakukan batas bawah minyak sawit dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Indonesia dan Malaysia sepakat untuk bekerja sama dan memperkuat kerja sama untuk melawan diskriminasi terhadap kelapa sawit pada 9 Januari 2023.

Indonesia tak gentar dan bereaksi keras

Sikap UE ini mendapat tentangan keras dari Indonesia. Indonesia sudah melawan aksi UE itu dengan mengajukan tuntutan ke organisasi perdagangan dunia (WTO). Untuk melawan setiap kebijakan yang dapat merugikan industri kelapa sawit, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa Indonesia dan Malaysia akan bekerja sama dan memperkuat kerja sama melalui CPOPC untuk memerangi diskriminasi terhadap kelapa sawit.

Saat KTT khusus UE-ASEAN di Brussel pada 14 Desember tahun lalu, Jokowi telah menyatakan keprihatinannya tentang peraturan tersebut. Dia mengatakan undang-undang tersebut dapat merugikan pembangunan dan ekspor negara karena pendekatannya yang tidak fleksibel. Dia juga menyebut kebijakan itu diskriminatif.

“Kemitraan harus didasarkan pada kesetaraan. Tidak boleh ada paksaan,” kata Presiden dalam sambutannya, menyinggung aturan baru tersebut. “Tidak boleh ada lagi satu pihak yang selalu mendikte pihak lain dan berasumsi bahwa ‘standar saya lebih baik dari standar Anda.”

Pernyataan lebih keras datang dari Mendag Zulkifli Hasan. Ia sempat menyatakan protes keras saat bertemu dengan European Parliament (IEU) beberapa waktu. Ia mengaku kesal, Uni Eropa selalu menghambat barang Indonesia terutama UMKM untuk masuk ke wilayah mereka dengan menerapkan beberapa syarat, salah satunya sertifikat ramah lingkungan.

“Saya bilang kalian jahat masih diskriminatif, dia bikin Undang-undang deforestasi, Masa’ kopi, turunan sawit jadi sabun, jadi kosmetik, kemudian cokelat, karet, lada tidak bisa masuk. Ini kan produksi petani dan rakyat, masa harus pakai sertifikat, bagaimana mengurusnya. Orang di kampung saya (Lampung) disuruh mengurus sertifikat golok keluar, kan tidak mungkin. Jadi itu (mereka) melarang-larang, nyusahin,” ujarnya. “Tapi kalian memang penjajah dulunya, saya bilang, iya, kamu dulu jajah kita, sekarang model baru saja, saya bilang begitu,” tambahnya.

Zulkifli menyebut protes kerasnya tersebut sempat membuat anggota parlemen Uni Eropa marah. Hal itu katanya, bisa dilihat dari raut muka mereka yang terlihat merah padam. “Saya bilang kalian ini jahat, saya bilang (begitu), ada orangnya. Terus mereka bilang,”Tidak begitu”. (Saya bilang), jangan ngajarin, kami sudah tua, sudah mengerti, saya bilang begitu, merah-merah mukanya,” katanya.

Zulkifli tidak peduli mereka marah. Pasalnya mereka sangat tidak adil. “Kalau kepentingan Uni Eropa terganggu, mereka selalu berteriak di dunia seolah-olah dunia mau kiamat,” kata Zulhas, saat acara Bhineka Culture Festival, di Pantai Jerman, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Jumat (23/6/2023).

Sementara pengusaha minyak kelapa sawit atau CPO yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengaku tidak khawatir dengan larangan Uni Eropa terkait deforestasi termasuk minyak kelapa sawit. “Pasar sawit itu akan tetap tumbuh karena ini kan basic need ya untuk makan, energi, industri. Jadi Indonesia ketakutan kehilangan Eropa? Tidak ya karena pasar yang lain akan terus tumbuh dengan baik,” kata Ketua Umum GAPKI, Joko Supriyono.

Joko menilai bahwa Eropa sebenarnya juga tidak ingin melarang sawit karena pada saat Indonesia melarang ekspor sawit pada 2022. Eropa juga kebingungan mencari negara pengekspor sawit akibat kebutuhan industri Eropa yang cukup tinggi. “Buktinya pelarangan ekspor pun kebingungan dan ngejar-ngejar Presiden juga,” ucapnya.

GAPKI mencatat sepuluh negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia berturut-turut adalah China, India, Amerika Serikat, Pakistan, Malaysia, Belanda, Bangladesh, Mesir, Rusia dan Italia. Peringkat Amerika Serikat pun naik dari peringkat 5 pada tahun 2022 menjadi peringkat 3 sebagai negara pengimpor utama produk sawit Indonesia pada tahun 2022. “Amerika Serikat sudah 2 juta lebih, padahal dulu cuma 400.000-an,” ujar Joko.

Dia menyebut banyak negara bagian Amerika Serikat yang menggunakan biodiesel, sehingga dari sisi makanan dan energi pertumbuhannya cukup bagus karena permintaan yang juga terus naik. “Yang jauh lebih penting bagaimana strategi diplomasi. Contohnya UU Deforestasi, Indonesia melakukan usaha termasuk melalui tim support dan kampanye jadi mestinya orang melihat kita bisa me-lobby,” tutupnya.

Larangan UE tak efektif

Apa dampaknya pemberlakuan larangan UE bagi negara produsen minyak kelapa sawit seperti Indonesia? Sekitar sepertiga dari minyak sawit yang diimpor ke UE digunakan untuk produksi biodiesel, dan sisanya sebagian besar untuk industri makanan dan kimia.

Produksi global minyak kelapa sawit didominasi oleh Indonesia dan Malaysia, keduanya bersama-sama memasok sekitar 85 persen dari seluruh minyak kelapa sawit, dimana antara 10 dan 15 persen diekspor ke UE. Jika digabungkan, hanya kurang dari empat persen produksi minyak sawit dunia akan terkena larangan minyak sawit.

Jadi, apa kemungkinan dampak dari pelarangan minyak sawit? Menurut Prof. Gernot Klepper Ph.D Ketua Dewan Sertifikasi Keberlanjutan dan Karbon Internasional (ISCC), pertama-tama, ekspor minyak sawit akan sedikit turun dan begitu juga dengan harga. Ini akan menimbulkan sejumlah reaksi. Salah satunya harga yang akan melemah. Namun harga yang lebih rendah akan meningkatkan permintaan minyak sawit dari luar UE, sehingga sebagian besar minyak sawit yang tidak diekspor ke UE akan diekspor ke tempat lain.

“Harga minyak sawit yang lebih rendah akan memperlebar jarak dengan minyak nabati lainnya. Pengguna minyak sawit di luar sektor biofuel Eropa akan mendapat insentif yang meningkat untuk mengganti minyak nabati lain dengan minyak sawit, sehingga meningkatkan permintaan minyak sawit. Deforestasi pun tidak berkurang saat produksi beralih ke pengguna lain,” ujar Ketua Dewan Penasihat Ilmiah Pusat Penelitian Lingkungan Helmholtz (UFZ) itu, mengutip situs ICCC.

Bagaimana dengan efek lokalnya? Produsen yang memasok minyak sawit ke pasar biofuel Eropa harus disertifikasi menurut Renewable Energy Directive (RED). Akibatnya, produsen yang telah menghindari deforestasi dan sertifikasi oleh sistem yang kredibel akan kehilangan pasarnya sementara jenis minyak lainnya selain CPO masih dapat diekspor meskipun sama-sama mengancam deforestasi.

Ia melanjutkan, produsen minyak sawit yang belum mendapat sertifikasi bisa memasok produknya ke pasar lain tidak memberlakukan larangan di luar EU. Tetapi produsen bersertifikat dan bebas deforestasi malah kehilangan pasar mereka di UE karena larangan tersebut. “Ini insentif aneh untuk praktik produksi yang lebih berkelanjutan!” tandas Prof Gernot.

Di pasar biofuel Eropa, permintaan biodiesel tidak akan berubah. Mereka akan menggantinya dengan minyak kedelai, canola, rapeseed, dan minyak nabati lainnya yang berfungsi sebagai bahan baku biodiesel. Tentu akan berbeda dari sisi harga dan ketersedian pasokan sehingga mau tidak mau akan membuat UE lebih repot.

Jadi dalam posisi minyak sawit ini, posisi Indonesia masih di atas angin, tak goyah oleh larangan EU. Malah mungkin EU yang akan kerepotan kekurangan pasokan CPO untuk memenuhi kebutuhannya. Sementara bagi Indonesia, masih banyak yang bisa dilakukan termasuk memperluas pasar ke negara-negara lain yang memang membutuhkan.

Selain itu, UE akan lebih kerepotan lagi jika Indonesia memberikan balasan dengan memblokir beberapa produknya diekspor ke blok negara-negara tersebut.

Namun meskipun masih di atas angin, industri sawit nasional harus terus berbenah. Selain mengembangkan diversifikasi pasar, sangat penting bagi pemerintah untuk mengintensifkan industri perkebunan kelapa sawit berkelanjutan melalui sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Best Agriculture Practice (BAP). Semua pelaku usaha agribisnis baik korporasi maupun petani sawit diwajibkan memiliki ISPO dan BAP dengan pendekatan kearifan lokal daerah tertentu.

Standardisasi pertanian seperti ini akan menjadi pertimbangan tidak hanya bagi UE tetapi juga negara-negara lain di masa mendatang. Pemerintah juga harus lebih serius menciptakan industri, terutama di sektor perkebunan dan perhutanan yang berkelanjutan dan mencegah deforestrasi.

Yang jelas, khafilah minyak sawit masih berlalu, jalan terus mencari pasar-pasar yang masih terbuka lebar di negara-negara lain. Sementara biarkan anjing menggonggong menyuarakan UU Anti-deforestasi yang tidak efektif bahkan menyulitkan mereka sendiri.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button