News

Wacana Pemutihan Lahan, Peluang Petani Sawit Tetap Sempit

Presiden Jokowi menugaskan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan untuk membentuk Satgas Tata Kelola Industri Sawit. Inisiatif ini bermula dari temuan seluas 9 juta hektare (ha) dari 16,88 juta ha lahan sawit tidak membayar pajak. Bagaimana bila yang dirugikan petani sawit, responnya secepat itukah?

Temuan awal ini terungkap dari audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap hasil laporan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Data inilah yang dijadikan acuan pemerintah untuk memperbaiki tata kelola sawit di Indonesia.

Satgas yang dimotori Menko Luhut tersebut lantas melakukan koordinasi secara rutin dengan beberapa instansi lain. Hasil terakhir, hingga akhirnya niat Luhut untuk memutihkan 3,3 juta ha lahan sawit yang berada di area hutan.

Bahkan, Wakil Ketua DPR Bidang Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Korkesra), Abdul Muhaimin Iskandar  pun ikut merespon temuan kenakalan pelaku industri sawit tersebut. “Tentunya semua stakeholder harus duduk bersama dan telusuri betul siapa-siapa yang menunggak pajak. Dan kalau memang ada pelanggaran, ya tindak tegas sesuai aturan. Hasil audit BPKP dan BPDKS saya kira cukup menjadi acuan pemerintah untuk memperbaiki tata kelola sawit kita. Karena mestinya lahan sawit yang luas itu menjadi potensi pajak yang cukup besar,” tegas pria yang akrab disapa Gus Imin, awal Mei lalu.

Bagi pemerintah barang kali masalah ini sudah menjadi batas kesemrawutan industri sawit nasional. Potensi setoran pajak sangat besar, ternyata belum tersentuh pembenahan. Masuk akal, dengan temuan hingga 9 juta hektare lahan sawit ngemplang pajak. Bila dilakukan pembenahan maka tidak hanya penerimaan pajak PBB tetapi rentetannya bisa masuk APBN. Dampak positif juga akan dirasakan masyarakat.

Namun itu dari sisi pemerintah yang baru menyadari kesemerawutan tata kelola industri sawit nasional. Padahal di tataran masyarakat kehadiran industri kelapa sawit sudah lama terjadi gesekan maupun konflik. Berbagai program pemerintah yang bertujuan agar masyarakat tidak mengalami ketimpangan tidak berjalan sesuai konsep. Akibatnya kesejahteraan belum terwujud dengan kehadiran industri sawit nasional.

Satgas Sawit yang dimotori Menko Luhut, sepertinya telat bergerak karena hanya mengantongi data potensi kerugian negara hanya dari 9 juta ha lahan sawit ngemplang pajak.

Padahal data lebih mengejutkan dipegang Transparency International Indonesia (TII) Januari 2022, justru berani menyimpulkan potensi pendapatan negara hilang sebesar Rp22,83 triliun akibat praktik nakal perusahaan-perusahaan sawit. TII menilai tiga masalah yang terdeteksi di industri sawit yaitu tentang praktik korupsi, penghindaran pajak dan manipulasi perdagangan.

“Di tengah pandemi saat banyak industri mengalami kemerosotan, kelapa sawit menjadi sektor yang makin cemerlang. Namun demikian, pendapatan negara dari sawit yang seharusnya bisa lebih tinggi terlihat belum optimal. Hal ini dikarenakan masih banyak pelaku perusahaan sawit yang “nakal” dalam melaporkan pendapatannya,” sesal Sekjen TII, Danang Widoyoko, dalam sebuah diskusi, saat itu.

Pemerintah terlalu fokus pada kepentingannya. Ketika kebijakan tidak jalan seperti setoran pajak berkurang, buru-buru melakukan evaluasi kebijakan. Berbeda ketika masyarakat menelan rasa pahit karena kebijakan pemerintah, maka tidak ada evaluasi secara serta merta. Kalau menggunakan istilah “Jaman Now”, baru bertindak bila sudah viral. Pemerintah baru bergerak mengatasi masalah bisa sudah diketahui banyak pihak karena melihat di media sosial.

Seperti halnya yang terjadi di industri kelapa sawit nasional. Dalam cacatan Sawit Watch awal Mei tahun 2023 lalu, manisnya industri sawit itu dinilai tak sebanding dengan perlindungan terhadap buruh yang bekerja di perkebunan sawit.

Sawit Watch mencatat luas perkebunan sawit mencapai 25,07 juta ha, dan industrinya mampu menyerap 16,2 juta pekerja yang terdiri dari 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung.

Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo, mengatakan hubungan kerja buruh sawit dinilai sangat rentan dan semakin parah setelah terbitnya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kendati UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan pemerintah menyiasati dengan menerbitkan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja tak juga mengubah perbaikan pelindungan terhadap kalangan pekerja/buruh perkebunan sawit.

“Kehadiran UU Cipta Kerja akan melegitimasi praktik hubungan kerja rentan sebagaimana selama ini telah dipraktikkan di perkebunan sawit. Praktik kerja outsourching diakomodir dalam regulasi ini, hal tersebut sangat merugikan buruh kebun sawit karena menyebabkan ketidakpastian hubungan kerja,” ujar Achmad.

Sebenarnya, pemerintahan Soeharto mewariskan program kemitraan inti-plasma pada era 1970 dan 1980-an. Namun dalam konteks saat ini, program tersebut perlu dikaji lebih mendalam kelanjutannya. Lahirnya inti-plasma bertujuan membantu pengelolaan kebun petani melalui keterlibatan perusahaan sebagai penjamin kredit, pelaksana kegiatan, dan pemasaran hasil perkebunan. Pasalnya, petani saat itu dinilai tidak punya kemampuan teknis untuk mengelola kebun maupun mengolah hasil produksinya.

Konsep PIR terus berjalan sampai tahun 2005 dengan perubahan model maupun nama menjadi KKPA ( Kredit Koperasi Primer untuk Anggota).  Program ini menerima bantuan dana pemerintah dan negara pendonor. Terakhir, sistem inti-plasma diperbaiki dengan program Revitalisasi Perkebunan dari tahun 2005-2015. Pembiayaan revitalisasi perkebunan bertumpu kepada kredit investasi perbankan di mana bunga kredit mendapatkan subsidi dari pemerintah, dan sisanya tanggungan petani.

Projek ini dimulai tahun 1980 hingga 1990 dengan pembiayaan kolaborasi Pemerintah Indonesia dan donor luar negeri seperti World Bank, Asian Development Bank, KFW dan lainnya).  Lewat program ini lahirlah definisi inti (perusahaan) yang bermitra dengan petani (plasma) untuk mengelola lahan. Petani plasma berasal dari petani lokal setempat ataupun para transmigran yang mengikuti program perpindahan penduduk dari dari Pulau Jawa dan Bali ke pulau lain seperti Sumatera dan Kalimantan.

Dalam hal kebijakan yang melibatkan masyarakat petani di industri sawit, Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) pun memberikan evaluasi. Kritik dan evaluasi diungkapkan Wakil Ketua DMSI, Sahat Sinaga.

Menurut Sahat, dalam perjalanannya, sistem inti-plasma menyimpan banyak kekurangan dalam pelaksanaannya. Pertama, manajemen kebun plasma yang bermitra dengan inti sangat beragam status pengelolaannya. Ada yang bersifat individu dan ada pula di bawah pengelolaan berkelompok seperti Koperasi atau Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Tetapi, banyak pengurus koperasi adalah petani. “Di sinilah terjadi problem salah urus yang menimbulkan kepentingan pribadi sehingga merugikan petani plasma lainnya,” kata Sahat seperti mengutip pernyataanya yang diunggap dalam laman resmi Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI).

Dalam beberapa kasus perusahaan (inti) kurang maksimal berbagi pengetahuan dan teknologi. Hasilnya, banyak terlihat bahwa petani cenderung sebagai “sleeping partner”.

Kelemahan yang ketiga mengenai posisi tawar petani yang lemah di hadapan perusahaan. Seringkali ditemukan  kualitas  buah sawit dari kebun petani ditentukan sepihak oleh perusahana begitupula harga pembelian buah.

Kondisi petani plasma tidak mengetahui perhitungan biaya produksi, menjadi kelemahan keempat. Minimnya akses informasi menyebabkan perhitungan pendapatan panen menjadi tidak jelas.

Kelima, kurangnya perencanaan jangka panjang petani plasma. Petani termasuk Koperasi tidak mendapatkan penyuluhan oleh perusahaan  dalam hal  pengelolaan kebun sawit supaya efektif.  Sebagai contoh upaya peningkatan produktivitas tanaman dan pola penyisihan dana (“sinking fund”) untuk program replanting.

“Belajar dari kelemahan ini, maka konsep inti-plasma tidak perlu dilanjutkan. Sebab, inti-plasma membuat petani bergantung kepada perusahaan dan lemah posisi tawarnya. Persoalan lambatnya program replanting petani di era pemerintahan Jokowi akibat minimnya perusahaan yang siap mendukung pendanaan.”

Data yang dimiliki DMSI, lanjut Sahat, saat ini luas kebun sawit yang dikelola koperasi mencapai antara 1.200-1.800 ha atau setara 500-1.200 kepala keluarga untuk mencapai economic size. Para petani dapat ikut mengelola kebun secara langsung untuk pemeliharaan  kebun dan pemanenan di bawah arahan dan instruksi dari pengurus Koperasi.

“Tetapi perlu ada tambahan perjanjian antara anggota dan Koperasi, bahwa lahan/sertifikat lahan tidak boleh diperjualbelikan dan tidak merubah fungsi pemanfaatan lahan kecuali hanya untuk perkebunan sawit,” katanya mengingatkan.

Kementerian Pertanian pun mengakui Pemerintah menerbitkan berbagai regulasi terkait kemitraan bertujuan membantu dan memudahkan pekebun. Pengembangan sawit tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah, butuh sinergi dan kolaborasi bersama dengan pihak-pihak terkait. Kemitraan ujungnya ini untuk membantu pekebun maupun perusahaan. Dengan demikian, perusahaan harus dapat membimbing pekebun agar tercapai hasil TBS yang baik, jika hasil TBS-nya baik tentu juga menguntungkan perusahaannya.

Semua itu butuh proses dan bernegosiasi agar saling menguntungkan, setara serta tidak merugikan. Pemerintah tidak ada keberpihakan salah satu pihak, namun di mata pemerintah semua sama. “Kemitraan itu harus saling menguntungkan, pekebun untung, perusahaan juga untung,” ujar Heru Tri Widarto, Sekretaris Ditjen Perkebunan Kementan, dalam sebuah diskusi virtual Forum wartawan pertanian (26/5/2023) lalu.

Heru juga menganggap program kemitraan usaha tetap menjadi solusi strategis untuk mengembangkan usaha perkebunan. Untuk itu kemitraan yang telah terjalin antara perusahaan dan petani harus diterapkan untuk menjaga keberlangsungan rantai pasok.

Lantas Heru memberi contoh, perusahaan atau kelompok tani yang berhasil sukses dengan bermitra atau difasilitasi antara lain kemitraan petani di Sulbar, Koperasi KOIPES dengan sasaran STDB sudah MoU dengan Perusahaan PT. AWANA SAWIT LESTARI di Kabupaten Pasangkayu, dimana sudah membuat produk turunan sawit. Contoh lainnya yaitu Asian agri Riau, pelaksanaan kewajiban kebun masyarakat 20 persen.

“Contoh sukses bermitra ini diharapkan dapat memotivasi para pelaku usaha perkebunan termasuk petani agar mau bermitra secara berkelanjutan,” ujar Heru.

Selain model kemitraan atau inti plasma, keterlibatan masyarakat sekitar perkebunan sawit, saat ini muncul istilah petani sawit swadaya. Mereka adalah petani sawit yang membudidayakan sawit secara mandiri dengan luasan dibawah 25 hektare dan tidak terafiliasi dengan program plasma maupun kemitraan kebun perusahaan.

Petani swadaya mengelola lebih dari 40 persen dari perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Rata-rata produksi petani swadaya adalah dua sampai tiga hektar per tahun. Jumlah ini kurang dari setengahnya bila dibandingkan dengan perkebunan komersial. Demikian mengutip laman resmi Kementan.

Ini berarti terdapat peluang yang potensial untuk meningkatkan hasil panen atau produktivitas petani swadaya. Dengan demikian, pasokan kelapa sawit yang tersedia akan meningkat, pendapatan petani swadaya dari kebun yang sama naik, dan kebutuhan untuk membuka lahan baru dapat dikurangi.

Keekonomian petani swadaya memiliki banyak kekurangan antara lain skalanya sangat terbatas karena kepemilikan lahan kurang dari 3 ha. Demikian juga dengan produktivitas yang rendah yang kurang dari 3 ton per hektare. Kualitas TBS juga rendah karena kemampuan ekstraksi di bawah 20 persen. Pola kerja tidak efisien sehingga pendapatan tidak dapat mencukupi biaya operasional. Apalagi, untuk daya tawar di pasar sangat rendah terutama saat melakukan negosiasi harga produk.

Jadi setali tiga uang dengan model kemitraan warisan pemerintahan Soeharto. Posisi petani sawit dalam konstelasi industri sawit nasional sangat lemah.

Namun selain manfaat ekonomi karena hubungan bisnis antara petani dengan perusahaan sawit, para petani juga harus merasakan manfaat sosial dengan keberadaan para pemodal sawit ini. APKASINDO adalah organisasi profesi petani kelapa sawit juga mengharapkan perusahaan kelapa sawit mengalokasikan anggaran untuk melakukan corporate social responsibility (CSR).

Menurut Sekretaris DPW APKASINDO Sumsel, M Yunus, perusahaan mestinya memberikan CSR kepada petani yang berada disekitar beroperasinya perusahaan atau masyarakat tempatan. “Kalau CSR perusahaan sawit seharusnya kembali kepada petani kelapa sawit. Misalnya bantuan perbaikan jalan produksi, bazar pupuk dengan harga murah, pengembangan komonitas petani swadaya, rumah ibadah, sekolah dan sebagainya,” ujarnya menanggapi interaksi perusahaan sawit dengan masyarakat sekitar.

Atau lebih bagus lagi program CSR itu dikemas dalam bentuk bantuan pengolahan kelapa sawit sederhana untuk kelompok tani, biar hasilnya ditampung oleh perusahaan.

Saat ini, kata Yunus seperti mengutip dari elaeis.co, CSR juga belum berjalan maksimal. Malah pemerintah juga merasa belum puas. Bahkan tidak sedikit petani yang justru tidak tahu penyaluran CSR tersebut.

“Harusnya pemerintah lebih jeli. Jangan hanya sumbangan bantuan di hari besar justru dianggap merupakan CSR. Sebab itu bukan CSR. Nah, ini kemudian digunakan perusahaan untuk menjawab bahwa pihaknya telah menyalurkan CSR, padahal buka CSR,” jelasnya.

CSR perusahaan kelapa sawit akan lebih maksimal jika digunakan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan petani. Misalnya pengembangan SDM dengan cara menggelar pelatihan pembibitan, perawatan hingga produksi kebun kelapa sawit. “Kan bisa juga untuk menghadirkan pupuk atau pestisida murah. Buat infrastruktur dan sebagainya juga bisa,” ujarnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button