News

Wakil Ketua KPK Amini Cerita Agus Rahardjo Soal Intervensi Jokowi di Kasus e-KTP

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dua periode Alexander Marwata mengamini pernyataan Ketua KPK (2015-2019) Agus Rahardjo terkait intervensi Presiden Joko Widodo dalam kasus korupsi e-KTP. Pertemuan tersebut pernah diceritakan Agus Raharjo kepada Komisioner KPK (2015-2019) lainnya kala itu.

“Ya pak Agus pernah bercerita kejadian itu ke pimpinan,” ujar Alex saat dihubungi pewarta, Jumat (1/12/2023).

Setelah Agus bercerita, Alex mengatakan, pimpinan KPK lainnya menolak permintaan Presiden ke-7 tersebut. Sebab, surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) telah terbit.

“KPK tidak bisa menghentikan penyidikan. KPK juga sudah mengumumkan tersangka,” ucap Alex menambahkan.

Diketahui, dalam perkara pokok kasus korupsi e-KTP, ada 8 orang yang sudah diproses dan divonis bersalah.

Mereka adalah Setya Novanto, dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, pengusaha Made Oka Masagung dan mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (keponakan Novanto).

Kemudian pengusaha Andi Naragong, Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo, dan mantan anggota DPR Markus Nari

Agus blak-blakan dapat intervensi Jokowi di kasus e-KTP

Sebelumnya, Agus mengungkapkan pernah dipanggil dan diminta Jokowi untuk menghentikan penanganan kasus e-KTP yang menjerat Setnov.

Setnov kala itu menjabat Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, partai politik yang pada 2016 bergabung jadi koalisi pendukung Jokowi.

Status hukum Setnov sebagai tersangka diumumkan KPK secara resmi pada Jumat, 10 November 2017.

Sebelum mengungkapkan kesaksiannya, Agus menyampaikan permintaan maaf dan merasa ada hal yang harus dijelaskan.

“Saya terus terang pada waktu kasus e-KTP, saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretariat Negara). Jadi, saya heran ‘biasanya manggil (pimpinan KPK) berlima ini kok sendirian’. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan tapi lewat masjid kecil,” tutur Agus dalam program Rosi, dikutip dari YouTube Kompas TV, Jumat (1/12/2023).

“Itu di sana begitu saya masuk presiden sudah marah, menginginkan, karena begitu saya masuk beliau sudah teriak ‘hentikan’. Kan saya heran yang dihentikan apanya. Setelah saya duduk saya baru tahu kalau yang suruh dihentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov, Ketua DPR waktu itu mempunyai kasus e-KTP supaya tidak diteruskan,” lanjutnya.

Namun, Agus tidak menjalankan perintah itu dengan alasan sprindik sudah ditandatangani pimpinan KPK tiga minggu sebelum pertemuan tersebut.

“Saya bicara (ke presiden) apa adanya saja bahwa sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu, di KPK itu enggak ada SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), enggak mungkin saya memberhentikan itu,” jelas Agus.

Agus merasa kejadian tersebut berimbas pada diubahnya Undang-Undang KPK. Dalam revisi UU KPK, terdapat sejumlah ketentuan penting yang diubah. Di antaranya KPK kini di bawah kekuasaan eksekutif dan bisa menerbitkan SP3.

Pimpinan KPK, kata Agus, juga dipersulit untuk menemui Jokowi dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk meminta draf revisi UU KPK.

“Kemudian karena tugas di KPK seperti itu ya makanya saya jalan terus. Tapi, akhirnya dilakukan revisi undang-undang yang intinya ada SP3, kemudian di bawah presiden, mungkin waktu itu presiden merasa ini Ketua KPK diperintah presiden kok enggak mau, apa mungkin begitu,” kata Agus.

Respons Istana

Sementara itu, Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, mengaku telah mengecek pertemuan dimaksud, namun tidak ada dalam agenda presiden.

“Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda Presiden,” kata Ari melalui keterangan tertulis.

Ari enggan menjawab ihwal Jokowi meminta kasus e-KTP dihentikan. Ia meminta publik untuk melihat fakta di mana Setnov tetap diproses hukum.

Lebih lanjut, Ari turut mengomentari perihal pembahasan revisi UU KPK yang disinggung oleh Agus. Ia menjelaskan inisiator revisi tersebut adalah DPR bukan pemerintah.

“Perlu diperjelas bahwa Revisi UU KPK pada tahun 2019 itu inisiatif DPR, bukan inisiatif Pemerintah, dan terjadi dua tahun setelah penetapan tersangka Setya Novanto,” kata Ari.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button