Konflik Iran-Israel tak Berdampak Langsung ke Neraca Perdagangan RI, tapi…


Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad menyatakan neraca perdagangan antara Indonesia dengan Israel maupun Iran cukup baik, bahkan mengalami surplus, meski kedua negara tersebut sedang berkonflik.

“Kalau kita lihat dengan Israel kita surplus USD132 juta sepanjang tahun 2024. Bahkan ekspor kita bentuknya adalah vegetable, animal, kemudian alat elektronik, bahkan alas kaki, coklat itu ekspor utama kita ke Israel meskipun katakanlah porsinya masih relatif kecil 0,07 persen. Bagi Israel, Indonesia belum menjadi tujuan utama impor mereka,” ungkap Tauhid secara virtual dalam diskusi bertajuk ‘Dampak Perang Iran-Israel terhadap Perekonomian Indonesia’, dipantau di Jakarta, Minggu (29/6/2025).

Lebih lanjut dijelaskan, neraca perdagangan Indonesia terhadap Iran, justru jauh lebih baik hingga mencapai surplus sebesar USD195 juta sepanjang tahun 2024.

“Justru kita ekspor bahan sumber daya alam, seperti fruits and nuts, industri, chemical, kendaraan, namun sebagian bentuk kayu dan sebagainya,” tuturnya.

Ketergantungan Indonesia terhadap Iran, kata dia, justru banyak berkaitan dengan produk-produk alat reaktor nuklir, mesin, dan sebagainya.

“Porsinya memang masih kecil jadi baik Iran maupun Israel masih relatif kecil sehingga gangguan langsung, terutama untuk produk-produk industri masih relatif kecil, namun ini cukup baik kalau kita lihat surplus di dua negara ini bagi perdagangan kita,” kata dia.

Ketimbang berimbas ke neraca perdagangan, Tauhin bilang, konflik Iran-Israel justru memberi efek kejut terhadap nilai tukar Rupiah.

“Karena ternyata dengan perang itu banyak nilai tukar terguncang, USD menguat, banyak investor global menarik uang dari negara berkembang, ada capital outflow sehingga nilai tukar Rupiah tertekan. Namun situasi ini menguat kembali, ketika situasi mereda setelah Trump mengatakan telah terjadi gencatan senjata,” tutur Tauhid.

Menariknya, lanjut dia, seringkali penguatan rupiah tidak sebanding dengan pergerakan dari indeks harga saham gabungan (IHSG). Memang ada ketidakpastian dalam geopolitik, namun faktor domestik di dalam negeri menurutnya, masih dominan membuat IHSG menurun dalam beberapa waktu, saat perang terjadi.

“Apa yang kemudian kita pelajari dari situasi ini? Ada yang harus kita waspadai, di kuartal pertama, capital outflow kita, ternyata pemilik-pemilik uang melihat bukan hanya di kita, tetapi juga di negara berkembang, mereka mencari negara atau tempat yang lebih aman ini sehingga rupiah tertekan, bahkan pasar saham terkoreksi lebih pada awal 2025. Itu saya kira faktor domestik cukup kuat,” tandasnya.