Daya Beli Pekerja dan Buruh Melemah Sejak Rezim Upah Murah Pada 2015
Aktivis buruh nasional, Mirah Sumirat menyebut, pemicu melemahnya daya beli pekerja dan buruh adalah kebijakan upah murah sejak 2015. Ketika PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan mulai diberlakukan.
“Beleid itu telah mereduksi fungsi dewan pengupahan dan mereduksi komponen perhitungan upah. Dalam hal ini, menghilangkan Komponen Hidup Layak ( KHL). Disusul keluarnya UU Omnibus Law Cipta Kerja yang semakin menegaskan sistem upah murah di Indonesia,” papar Mirah, Jakarta, Senin (12/8/2024).
Tak hanya itu, masih menurut Mirah, penyebab lainnya adalah melambungnya harga kebutuhan pangan dan kebutuhan dasar (sembako). Fenomena itu berdampak signifikan terhadap daya beli masyarakat yang semakin rendah.
Dia mencatat, melambungnya harga pangan dan kebutuhan dasar terjadi sejak 2021. Kenaikan rata -rata mencapai 20 persen. Celakanya, kenaikan harga itu terus terjadi tanpa pernah bisa dikendalikan pemerintah.
Sehingga menimbulkan kesenjangan ekonomi yang semakin menjulang antara kelompok kaya dengan kelompok miskin. Kondisi ini, jelas bisa berakibat tidak baik untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. “Munculnya kebijakan atau regulasi yang dikeluarkan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat kecil atau buruh semakin memperburuk kondisi ekonomi mereka,” kata Presiden Women Commitee Asia Pasifik di UNI Apro itu.
Bergesernya Revolusi Industri dari 4.0 menjadi 5.0, menurut Mirah, tidak pernah diantisipasi pemerintah. Padahal, proses peralihan teknologi yang begitu masif itu, mengancam eksistensi kelas pekerja dan buruh.
Di mana, tenaga manusia digantikan mesin (otomatisasi) yang memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Jika ada yang bekerja, statusnya bukan karyawan tetap, tetapi pekerja kontrak atau harian lepas. “Setiap saat mereka bisa diputus kontraknya tanpa pesangon,” ungkapnya.
Dia pun menyoroti kebijakan pemerintah menaikkan tarif pajak untuk seluruh lapirsan masyarakat. terkesan kuat, tim ekonomi pemerintah saat ini, miskin kreatifitas dan inovasi dalam mengejar penerimaan negara. “Coba dicek berapa tunggakan pajak dari para orang kaya di Indonesia? Mereka dengan enaknya kemplang pajak, sementara rakyat kecil terus dikejar pajaknya,” kata Mirah.
Demikian pula rencana pemerintah mencabut subsidi untuk rakyat kecil, menurut Mirah, semakin menunjukkan tidak adanya keadilan di negeri ini. Kalau dipaksakan, daya beli masyarakat bakal semakin anjlok.
“Perlahan-lahan, pemerintah mulai mengurangi subsidi listrik 450 VA. Demikian pula pembatasan BBM subsidi, serta pembatasan pembelian LNG 3 kilogram. Itu semua menyulitkan rakyat,” ungkapnya.
Akibatnya, kata Mirah, rakyat kecil terpaksa berhubungan dengan pinjaman online (pinjol) demi memenuhi kebutuhan hidup. Padahal, mereka tahu bunganya pinjol sangat mencekik leher bak rentenir.
“Kami berharap, pemerintahan Pak Prabowo mampu menemukan solusinya. Bahwa pekerja atau buruh dan rakyat biasa, perlu didukung untuk mendapatkan kesejahteraaan sesuai konstitusi,” pungkanya.
Beri Komentar (menggunakan Facebook)