Market

IMF Minta Jokowi Cabut Larangan Ekspor Bijih Nikel, Bahlil: Melawan Akal Sehat

Terkait desakan Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) agar Presiden Jokowi mencabut larangan ekspor nikel mentah, tampaknya bakal mentah.

Seperti disampaikan Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, pemerintah Indonesia tidak akan menarik larangan ekspor nikel mentah. Sekalipun IMF yang memintanya. “Sampai langit runtuh pun kebijakan hirilisasi akan tetap menjadi kebijakan di masa Presiden Jokowi dan Ma’aruf Amin. Larangan ekspor (mineral mentah) tetap akan dijalankan,” tegas Menteri Bahlil, Jakarta, Jumat (30/6/2023).

Dia mengatakan, alasan IMF meminta pemerintah Indonesia mencabut larangan ekspor bijih nikel, sangat tidak sesuai fakta. Misalnya, IMF menyatakan Indonesia akan merugi bila meneruskan pelarangan ekspor nikel mentah, menurutnya, tidak masuk akal sehat.

“IMF mengatakan Indonesia justru akan merugi, ini di luar nalar sehat saya. Dari mana rugi? Justru, hilirisasi menciptakan nilai tambah tinggi di negara kita. IMF mendukung tujuan hilirisasi untuk dorong transformasi struktural, namun IMF menentang kebijakan larangan ekspor. Ini aneh,” ungkapnya.

Menteri Bahlil menerangkan, kebijakan hirilisasi dan larangan ekspor mineral mentah seperti bijih nikel, memberikan manfaat yang signifikan untuk Indonesia.

Ketika kebijakan ekspor bijih nikel dilarang dengan melakukan hirilisasi, nilai ekspor meroket hingga US$ 30 miliar. Atau setara Rp450 triliun dengan asumsi kurs Rp15.000/US$. Jauh di atas ekspor bijih nikel pada 2017 dan 2018 yang hanya sekitar US$2,3 miliar (Rp34,5 triliun). Atau 13 kali lipat.

Bahkan, pada 2016 hingga 2017 defisit neraca perdagangan Indonesia dengan China sebesar US$18 miliar (Rp270 triliun). Namun dengan adanya hirilisasi dengan mendorong ekspor yang tidak lagi dalam bentuk komoditas alias dalam bentuk barang setengah jadi dan jadi.

Pada 2022, defisit neraca perdagangan Indonesia dengan China susut menjadi US$ 1,8 miliar (Rp27 triliun). Sedangkan kuartal I-2023, melahirkan surplus US$1,2 miliar (Rp18 triliun).

Selain itu, lanjut Menteri Bahlil, hilirisasi minerall di Indonesia justru mendorong lahirnya surplus neraca perdagangan hingga 27 bulan berturut-turut. Bahkan, neraca pembayaran mengalami perbaikan karena hilirisasi yang dicanangkan Jokowi.

“Terkait pernyataan IMF soal pendapatan negara akan berkurang, justru 2021 hingga 2022, target pendapatan negara tercapai terus. Dan tidak hanya berbicara pada pendapatan negara, akibat hirlisasi justru terjadi pemerataan di daerah-daerah, utamanya daerah penghasil bahan baku,” jelasnya.

Meski begitu, dia mengakui adanya penurunan dari sisi pendapatan pajak ekspor komoditas. Namun bisa dikesampingkan karena pendapatan dari PPh badan, PPN, serta PPh 21 dari tenaga kerja, meningkat. Dampak program hilirisasi mineral mentah.

Sebelumnya, IMF mendesak Presiden Jokowi mempertimbangkan pelonggaran pembatasan ekspor nikel dan komoditas lainnya. Permintaan itu disampaikan dalam IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia yang dikeluarkan Minggu (25/6/2023).

Dalam laporan itu, IMF sebenarnya menyambut baik ambisi Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah dalam ekspor mineral, termasuk menarik investasi asing dari kebijakan larangan ekspor itu.

Selain itu, IMF tersebut juga mendukung langkah Indonesia yang memfasilitasi transfer keterampilan dan teknologi. Namun, mereka mencatat bahwa kebijakan harus didasarkan pada analisis biaya-manfaat yang lebih lanjut, dan dirancang untuk meminimalkan dampak lintas batas.

“Dalam konteks itu, para direktur mengimbau untuk mempertimbangkan penghapusan bertahap pembatasan ekspor dan tidak memperluas pembatasan tersebut ke komoditas lain,” tulis laporan tersebut.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button