News

Singgung Aksi Korporasi, Pakar Hukum: Kasus Eks Dirut Pertamina Mesti Ditangani Cermat


Pakar hukum Universitas Gadjah Mada, Profesor Paripurna Sugarda meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk lebih cermat dalam menangani kasus mantan Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan.

Sebab Sugarda menilai, jual-beli LNG dari kilang Corpus Christi Liquefaction, Texas merupakan aksi korporasi.

“Menurut saya, itu aksi korporasi. Makanya harus ditangani dengan cermat,” kata Paripurna, melalui keterangan resmi, Sabtu (20/4/2024).

Kecermatan yang dimaksudkan Paripurna yakni, dengan cara hati-hati, utamanya saat menerapkan Undang-Undang  Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN).

Begitu pula, saat menerapkan atau mengambil logika hukum bahwa aset BUMN adalah bagian dari kekayaan negara.

“Karena korporasi, memiliki prinsip sendiri yang berbeda dengan sekadar mengklaim aset BUMN adalah aset negara. Itu yang saya tekankan kepada penegak hukum,” kata Paripurna.

Sebab menurut dia, jika penegak hukum terlalu mudah memanfaatkan pasal yang menyatakan bahwa aset BUMN adalah aset negara, dikhawatirkan bisa mengganggu kepentingan bisnis BUMN.  

“Direksi BUMN bisa takut mengambil keputusan. Padahal, kalau direksi takut mengambil keputusan, BUMN tersebut tidak pernah mendapat untung,” kata dia.

Paripurna juga berpendapat bahwa jual beli LNG di Texas merupakan bentuk aksi korporasi. Yang penting, prosedur harus dilalui sesuai SOP. “

Sebab, memang ada keputusan yang bisa dilakukan sendiri dan ada yang harus mendapat pertimbangan dari komisaris dan RUPS,” imbuhnya.

Begitu pula dengan uang yang diterima Karen dari Blackstone selaku rekanan Pertamina. Menurut Paripurna, gaji sebagai senior advisor tersebut tidak melanggar hukum. Sebab, saat itu Karen sudah mengundurkan diri dari jabatan Dirut Pertamina.

Terlebih, uang tersebut ditransfer dengan jelas ke rekening Karen di Bank Mandiri. Bahkan dalam persidangan terungkap, petugas bank bisa menghitung dengan jelas kapan mulai transfer dan semuanya benar. Sama sekali tidak ada perintah untuk menyembunyikan transaksi.  

“Menurut saya, itu bukan uang korupsi. Kalau sudah tidak ada hubungan lagi dengan Pertamina dan tidak ada bukti bahwa pemberian gaji itu mempengaruhi pembelian LNG, tentu tidak ada hukum yang dilanggar. Kan sudah tidak ada conflict of interest . Jadi tidak ada abuse of power lagi,” paparnya.

Sebelumnya, dalam sidang lanjutan, Kamis 18 April 2024, saksi yang dihadirkan 
jaksa penuntut umum (JPU) memang tidak bisa menjelaskan bahwa Karen Agustiawan telah menerima uang korupsi senilai Rp1,09 miliar dan USD104.016,65 dari Tamarind Energy Management.

Customer Service Bank Mandiri di Kantor Pertamina, Ahmad Haris, yang dihadirkan sebagai saksi  pada sidang tersebut memang membenarkan uang itu ditransfer sejak 28 April 2015 hingga 29 Desember 2015. Tetapi Haris tidak mengetahui, apakah ada perintah untuk menyembunyikan transaksi tersebut.

Selain Haris, JPU saat itu juga menghadirkan Muhammad Ardi Windi Saputra, sebagai Junior Analyst 1, messaging and collaboration di  Pertamina.

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button