Friday, 24 January 2025

Pasien DBD Berisiko Komplikasi Jangka Panjang Lebih Tinggi Ketimbang COVID-19

Pasien DBD Berisiko Komplikasi Jangka Panjang Lebih Tinggi Ketimbang COVID-19


Orang yang sembuh dari demam berdarah lebih mungkin menghadapi komplikasi kesehatan jangka panjang, termasuk kondisi jantung dan gangguan memori, dibandingkan mereka yang terjangkit COVID-19. Demikian temuan dari sebuah studi nasional yang dirilis kemarin.

Pasien demam berdarah memiliki risiko 55 persen lebih tinggi terkena komplikasi jantung seperti detak jantung tidak teratur, penyakit jantung, dan pembekuan darah, menurut penelitian yang dipimpin para peneliti Universitas Teknologi Nanyang (NTU). Mereka yang terjangkit demam berdarah juga menghadapi peningkatan risiko gangguan kognitif atau memori sebesar 213 persen, disertai peningkatan risiko gangguan pergerakan sebesar 198 persen.

Demam berdarah belum diketahui obatnya atau penanganannya. Penyakit ini juga disebut ‘demam patah tulang’ karena nyeri otot dan sendi yang parah yang terjadi selama infeksi, serta demam tinggi. 

“Kami termotivasi untuk melakukan penelitian ini karena meningkatnya jangkauan geografis demam berdarah akibat perubahan iklim,” kata penulis utama penelitian tersebut, Asisten Profesor Lim Jue Tao dari Sekolah Kedokteran Lee Kong Chian NTU, mengutip Channel News Asia (CNA).

Tim peneliti ini juga memutuskan untuk membandingkan hasil penelitian tersebut dengan mereka yang menderita COVID-19. Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya risiko tinggi komplikasi kesehatan jangka panjang yang serupa.

“Secara keseluruhan, penelitian kami menggarisbawahi perlunya masyarakat untuk waspada terhadap penyakit demam berdarah di lingkungan mereka dan dapat menjadi sumber daya untuk mendukung perencanaan kesehatan masyarakat,” tambah Asisten Prof. Lim.

Penelitian Pertama Efek Jangka Panjang DBD

Studi ini pertama kali diterbitkan dalam Journal of Travel Medicine pada bulan Juli. Penelitian ini melibatkan pemeriksaan tes dan catatan klaim medis dari 11.707 penduduk Singapura yang terkena demam berdarah, serta sekitar 1,2 juta penduduk yang terjangkit virus corona, antara Juli 2021 dan Oktober 2022.

Ini merupakan yang pertama kali meneliti risiko jangka panjang berbagai komplikasi kesehatan pasca-demam berdarah, dan yang pertama kali membandingkan risiko pasca-pemulihan pada pasien demam berdarah dan COVID-19.  Tim mencari masalah kesehatan baru yang terkait dengan jantung, sistem saraf, dan kekebalan tubuh yang muncul 31 hingga 300 hari setelah infeksi.

Akan tetapi, para peneliti mencatat keterbatasan studi tersebut, termasuk hanya dapat melacak orang dewasa berusia 18 tahun ke atas. Ini berarti temuan tersebut tidak dapat digeneralisasikan ke pasien yang lebih muda. Kerentanan individu terhadap COVID-19 dan demam berdarah – seperti faktor genetik, perilaku, atau lingkungan, yang dapat memengaruhi perkiraan risiko – juga tidak dipertimbangkan.

Di masa mendatang, tim peneliti akan membandingkan risiko komplikasi kesehatan jangka panjang pada keempat serotipe dengue berbeda, dengan biaya ekonomi yang ditimbulkan akibat komplikasi tersebut.Tim tersebut juga terdiri dari peneliti dari Kementerian Kesehatan (MOH), Rumah Sakit Umum Singapura, Pusat Penyakit Menular Nasional, dan Badan Lingkungan Hidup Nasional.

Perhatikan Kondisi Awal

Para ahli penyakit menular mengatakan kepada CNA bahwa komplikasi kesehatan yang ditandai dalam penelitian tersebut sering kali merupakan akibat dari kondisi yang sudah ada sebelumnya.

“Jika mereka tahu bahwa mereka memiliki penyakit jantung atau penyakit kronis lainnya sebelum mereka terkena demam berdarah, maka ada baiknya untuk setidaknya berkonsultasi dengan dokter tentang cara terbaik untuk menindaklanjuti kondisi tersebut,” kata Profesor Ooi Eng Eong dari Program Penelitian Unggulan dalam Penyakit Menular Baru di Sekolah Kedokteran Duke-NUS.

Prof Ooi menambahkan bahwa kondisi mendasar seperti itu kemungkinan akan memperburuk masalah, yang berarti perlu ditindaklanjuti lebih lanjut. Mengingat bahwa upaya untuk menjaga tingkat penularan tetap rendah di masyarakat hanya dapat berjalan sampai batas tertentu, Prof. Ooi menunjukkan bahwa diperlukan pendekatan bercabang dua. Pertama menjaga populasi nyamuk tetap rendah, dan kedua dengan vaksinasi untuk mengurangi risiko timbulnya komplikasi.

Hanya satu vaksin dengue, yang disebut Dengvaxia, yang telah disetujui di Singapura untuk mereka berusia 12 hingga 45 tahun yang sebelumnya pernah terinfeksi dengue. Mereka yang belum pernah terkena demam berdarah sebelumnya tidak disarankan untuk mendapatkan vaksin. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan risiko terkena demam berdarah yang parah jika mereka terinfeksi di kemudian hari, menurut MOH.

Prof Ooi menunjukkan bahwa rendahnya tingkat COVID-19 jangka panjang di Singapura, dibandingkan dengan negara lain seperti Amerika Serikat, disebabkan oleh tingginya tingkat vaksinasi. “Kami memiliki situasi unik di mana kasus demam berdarah parah terjadi (di antara) orang dewasa yang lebih tua, dan saya pikir di sana, kami benar-benar dapat membuat perbedaan dengan vaksinasi,” katanya kepada program Singapore Tonight dari CNA.

 

M Dindien Ridhotulloh