Kanal

Menguji Kredibilitas Proses Rekrutmen Hakim MK

“Keadilan adalah pondasi bagi tatanan sosial dan politik yang adil,” kata filsuf moral dan politikus Amerika, John Rawls. 

Kontroversi kasus Anwar Usman membuka pandora terkait proses rekrutmen hakim Mahkamah Konstitusi di Indonesia, membawa pertanyaan mendalam mengenai transparansi dan integritas sistem.

Menurut Anggota Komisi III DPR, Achmad Baidowi, proses rekrutmen yang melibatkan Presiden, DPR, dan MA secara umum telah berjalan dengan baik. 

“Selama ini prosesnya tidak ada masalah,” ujarnya kepada inilah.com. 

Namun, Baidowi menekankan bahwa tantangan utama muncul dalam pemantauan karir hakim setelah penunjukan. 

“Kita tidak bisa memantau ketika dia sudah berkarir di lembaga yang dia pimpin,” kata Baidowi.

Pada kasus Anwar Usman, Baidowi mengungkapkan bahwa potensi konflik kepentingan muncul setelah Usman menjadi ipar Presiden Jokowi. Ini menunjukkan perlunya proses seleksi yang lebih independen dari pengaruh politik untuk menghindari konflik kepentingan. 

“Anwar Usman dianggap berubah ketika menjadi pamannya Gibran,” terang Baidowi.

post-cover
Presiden Joko Widodo saat menghadiri pengucapan sumpah jabatan Anwar Usman dan Saldi Isra sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) masa jabatan 2023-2028 di Ruang Sidang Pleno Gedung I MK, Jakarta, pada Senin, 20 Maret 2023. (Foto: BPMI Setpres/Lukas)

Di sisi lain, Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, berpendapat bahwa tidak ada indikasi manipulasi atau intervensi politik dalam proses rekrutmen. 

“Prosesnya sudah benar dan tidak ada tanda-tanda intervensi dari luar,” tegasnya. 

Namun, Margarito juga menambahkan bahwa pelanggaran kode etik adalah masalah terpisah dari rekrutmen, “Pelanggaran kode etik bisa terjadi kapan saja, terlepas dari proses rekrutmen,” jelasnya.

Sementara itu, Prof Ni’matul Huda dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, memberikan pandangan yang kontras. Huda mengkritik proses seleksi yang dilakukan oleh DPR dan Presiden karena melibatkan Tim Seleksi (Timsel) yang cenderung politis, berbeda dengan MA yang lebih tertutup. 

“Model rekrutmen yang dilakukan lembaga politik pastinya sangat politis,” ungkap Huda.

Dia juga menyarankan agar proses rekrutmen melibatkan masyarakat lebih luas dengan standar tes yang seragam. 

“Model rekrutmennya harus terbuka, melibatkan masyarakat dengan standar yang sama,” sarannya. Ia juga menekankan perlunya Komisi Yudisial dalam proses seleksi untuk memastikan transparansi dan integritas.

Margarito, dalam konteks standar internasional, menyatakan ketidaksukaannya terhadap penerapan standar internasional.

Kasus Anwar Usman menggambarkan pentingnya integritas dan transparansi dalam proses rekrutmen hakim MK. 

post-cover
inilah.com/Brenda Febry

Kredibilitas MK sangat bergantung pada bagaimana hakim-hakimnya direkrut dan diawasi. Meskipun beberapa narasumber percaya prosesnya sudah cukup baik, yang lain menyoroti perlunya reformasi untuk memperkuat akuntabilitas dan menghindari pengaruh politik.

Perdebatan ini menunjukkan bahwa perubahan dalam proses rekrutmen hakim MK mungkin perlu dilakukan. 

Dengan revisi UU MK yang sedang berlangsung, ada kesempatan untuk memperbaiki proses ini, memastikan bahwa hakim yang dipilih tidak hanya kompeten secara hukum tetapi juga bebas dari konflik kepentingan. 

post-cover
Pelaksanaan pengucapan sumpah jabatan. (Foto: BPMI Setpres/Lukas)

Memilih hakim konstitusi yang adil dan transparan adalah kunci untuk menjaga integritas lembaga peradilan dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap MK sebagai penjaga konstitusi.

Perubahan ini tidak hanya penting untuk memperkuat independensi dan objektivitas MK, tetapi juga untuk memastikan bahwa lembaga ini dapat melaksanakan tugasnya sebagai penjaga konstitusi dengan efektif dan adil. 

Dalam menghadapi tantangan ini, MK berada di persimpangan jalan, di mana keputusan mengenai proses rekrutmen hakim akan sangat menentukan arah dan integritasnya di masa depan. [inu/Reyhanaah/Diana]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button