Inersia

Belajarlah, Bahkan Kepada Siluman

Seketika saya teringat sisa-sisa mantera yang diminta Ki Salu saya hafalkan manakala ia bercerita dulu.  Hanya tersisa sedikit, tergerus pemikiran John Maynard Keynes, John Stuart Mill, John Kenneth Galbraith atau Abraham Maslow yang diujikan saat Ujian Tengah dan Akhir Semester di kampus. “…raga jati tan kena ing pati/Raga ningsun tan kena ing mala/Wit tanpa wiwitan/Les tanpa wekasan..”

Uwa saya almarhum, Wa Anda, adalah seorang ‘palika’. Itu sebutan khas Sunda untuk orang yang mampu menyelam, menjelajah dasar sungai dalam hitungan puluhan menit, mungkin mencapai ukuran jam. Sukar dipercaya, hingga memang hanya akan dipercaya orang-orang yang langsung melihat kejadiannya.

Mungkin anda suka

Itu akan saya ceritakan lain kali. Lain dengan Wa Anda yang masih sempat saya saksikan buktinya dengan mata kepala sendiri, kisah ini sepenuhnya saya dapat sebagai cerita. Hanya saja, yang bercerita adalah orangnya sendiri manakala saya sudah setahun kuliah di Bandung, awal 1990.

Aki Salu—sebut saja demikian, adalah seorang kakek yang terkenal di kalangan kami, anak-anak usia SD di periode akhir 1970-an sampai awal 1980-an. Populer bukan karena kami sukai, namun sebaliknya, meski tak layak dan tak bisa pula dikatakan kami benci. Barangkali kata takut lebih pas untuk menggambarkannya.

Kakek tua itu tak pernah rela layang-layang putus masuk pekarangannya. Juga bola sepak kami. Bukan sekali dua, alih-alih memberikan layang-layang itu kepada anak-anak yang telah lupa beling dan mempedulisetankan onak duri saat melabrak semak belukar mengejarnya, Ki Salu selalu memilih merobek-robek layang-layang putus itu di hadapan kami, anak-anak. Mungkin, sebenarnya ia kuatir kaki kami terpanggang dahan semak atau beling tertanam di kaki saat menginjaknya. Tapi caranya, memang khas.

Entah sudah berapa kali ‘bola gembling’—bola sepak karet murah berisi butir besar garam -–yang masuk pekarangan rumahnya, dibelahnya dengan golok yang selalu tersampir (Sunda: disoren) di pinggangnya. Belahan itu yang kemudian kami tangisi, kami bakar di semua tepiannya untuk direkatkan lagi. Tentu saja tak pernah bisa. Entah berapa bola yang sempat jadi korban, karena rumah Ki Salu hanya terhalang jalanan kecil dari lapangan luas SD Inpres Lapangsari, tempat kami selalu bermain bola.

Seingat saya, tak pernah ada bapak-bapak kami yang komplen dan mendatanginya. Sebagaimana kami, tampaknya mereka jeri. Sudah lebih dari rahasia umum, bahkan mungkin telah menjadi legenda kampung tentang kehebatan Ki Salu. Konon, di zaman ‘gorombolan’ dulu—mengacu pada pemberontakan DI/TII tahun 1960-an, Ki Salu seorang diri menghadapi sekian banyak gorombolan yang hendak masuk kampung kami.

Konon, selama bertarung dengan dirempug atau dikeroyok puluhan orang itu, tak satu bedog pun bisa melukai tubuhnya. Bukan karena Ki Salu  selalu berhasil berkelit, tetapi ia “weduk teu teurak dikadek” alias kebal!  Kocar-kacirlah para gorombolan itu. Boleh percaya, boleh tidak, tentu. Namanya juga konon.

Anehnya, kepada saya Aki Salu selalu baik. Tak pernah beliau alpa menegur saya yang bocah ini lebih dulu, manakala berpapasan. Selalu pula ia bertanya tentang ibu, atau bapak saya. Belakangan, setelah beranjak dewasa, saya tahu itu berhubungan dengan perlakuan Ibu kepadanya, selain sikap dan tindak-tanduk saya yang memang turut mempengaruhi. Ibu yang mengajar di SD depan rumahnya, kerap membagi beras yang beliau terima setiap bulan. Sementara terhadap saya, konon karena saya senantiasa sopan kepada siapa pun yang lebih tua. Lihat, saya pakai juga kata ‘konon’ dalam kalimat di atas.

Cerita tentang Aki Salu tidak saya dapat saat kecil, memang. Tapi waktu saya kuliah, dan pulang karena Ibu menelepon malam-malam. Di awal tahun 1990-an itu telepon rumah belum lagi lazim di Majalengka. Ibu menelepon saya yang saat itu ‘mondok’ di Masjid UNPAD dari kantor telekomunikasi (bahkan bukan wartel yang ladjim saat itu) yang harus beliau tempuh dengan memakai becak. Jadi pasti penting.  Saya diminta pulang. Aki Salu, kata Ibu, sangat ingin bertemu saya.

Waktu saya temui, Ki Salu tengah sakit keras. Menurut istrinya, ia bahkan baru bisa bangun manakala diberitahu saya datang. “Nuhun Sep, geuning Asep datang mah Aki teh jag-jag katingalina. Terimakasih, Sep. Kok kamu datang, Aki jadi tiba-tiba sehat,” kata Nini Salu.

Ternyata Aki menawarkan sesuatu kepada saya. Sesuatu yang tak bisa saya terima. Hanya dengan cara halus dan berkali-kali minta maaf, ia bisa mengerti. Bagaimana pun, ada senjang pendidikan, wawasan dan perbedaan zaman yang membuat penolakan itu harus saya lakukan dengan baik dan seelegan mungkin.

Tetapi saya dapat cerita yang sampai saat ini selalu menjadi misteri yang menggoda saya. Kadang bahkan merangsang saya untuk menelusuri kebenaran cerita itu, meski tak tahu harus mulai dari mana dan dengan jalan bagaimana. Tentang dari mana Aki mendapatkan ilmu kanuragan yang ternyata memang ia miliki.

Menurut Aki, ilmu itu didapatnya setelah ia merasa kecewa berat, kalah dalam arena pakaulan pencak silat. Saya menaksir kejadian itu sekitar tahun 1950-an. Saat itu lazim di daerah kami bila orang hajatan mengundang grup pencak silat untuk main. Biasanya selalu ada arena terbuka untuk siapa saja yang ingin ikut andil menghibur. Tak hanya ibing alias tarian yang menjadi kembang pencak, tapi juga tanding jurit secara terbuka, laiknya pertandingan UFC saat ini.

Mungkin karena kecewa yang berlebihan, saat pulang tengah malam itu ia terlalu khusyu meratapi kekecewaannya. Anehnya, kata Aki, tiba-tiba entah dari mana datangnya, pundaknya ditepuk seseorang. Bukan orang biasa. Tubuhnya gempal tinggi besar, dengan alis hitam tebal. Bola matanya seolah menonjol, dan merah seperti memancarkan api.  Sementara kumisnya lebat dan kasar, di atas bibir yang merah tebal tersinari cahaya colen (obor). Pakaiannya belang-belang, dengan ikat kepala khas para jawara, yakni potongan “barangbang semplak”.

Ari jadi budak ngora kudu rea kanyaho ambeh teu dihina deungeun! Jadi anak muda itu harus banyak punya keahlian, agar tak gampang dihina orang!” kata dia. Suaranya agak sengau, membuat Ki Salu muda kaget. Menurut Ki Salu, cukup lama juga dirinya diceramahi orang asing tersebut. Anehnya, kata dia, dirinya tak banyak protes atau pun mendebat. Singkat cerita, Ki Salu setuju untuk belajar silat maenpo kepada orang baru tersebut. Orang itu minta agar saat itu pun—tidak memberi waktu–Ki Salu ikut dirinya.

“Gerakannya lincah dan gesit waktu berjalan menuju kampungnya. Sementara Aki yang saat itu lebih muda, setengah mati mengikutinya agar tak tertinggal,” kata Ki Salu.

Setelah melalui beberapa hutan yang menurutnya aneh karena tak pernah dilalui sebelumnya, Ki Salu pun sampai ke kampung orang tersebut. “Kira-kira datang ka dinya wanci janari,” kata Ki Salu. “Kami sampai kampung itu dini hari.”  Yang kembali membuatnya terheran-heran, manakala pagi datang, Ki Salu melihat semua warga di sana memakai pakaian yang sama: salur-salur alias belang. Hanya ada sedikit perbedaan, itu pun paling dalam corak atau pun besaran belangnya.

“Setiap hari kami semua makan daging, entah darimana dapatnya,” kata Ki Salu. Menurut Ki Madroji—orang yang ia ikuti itu– makan daging membuat orang trengginas dan berani, lain dengan hanya makan nasi. “Kejo mah ngan ukur jang nu boloho,” katanya menirukan ucapan Ki Madroji. “Nasi itu hanya untuk orang-orang bodoh.”

Menurut Ki Salu, dirinya tak lama berada di kampung itu memperdalam ilmu kanuragan. Hanya sekitar sepekan. Selama itu dirinya pun harus melakukan ritual patigeni, yakni teu dahar, teu nginum, teu sare—tidak makan, tidak minum, tidak tidur, selama tiga hari. Manakala dicoba, selain kini gerakannya sudah sangat rikat alias trengginas, badan Ki Salu pun sudah weduk. Saat lutut dihajar parang, yang ada hanya ngabelentrang dengan parang jadi rompal. Manakala perut yang digebuk, golok itu mumbul seolah menghantam bola karet. Ki Salu pun diizinkan pulang, dengan diwanti-wanti untuk tak pernah menengok ke belakang.

Ternyata, perjalanan dirinya kembali ke kampung tak memerlukan waktu dua jam. Yang membuat Ki Salu heran, ayah-ibunya menangisinya saat ia datang. Menurut mereka, Ki Salu sudah tak pulang-pulang selama tiga bulan.

Dua pekan kemudian, saat saya sudah kembali ke Bandung, Ibu saya kembali menelepon malam-malam. “Tadi sore Aki Salu berpulang,” kata beliau. Saya terdiam,  hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk perjalanan beliau menuju Sang Khalik.

Saat Lebaran datang, tentu saja saya kembali ke kampung. Pada pertemuan tahunan  teman-teman SMP angkatan saya, seseorang yang sekampung dengan saya mendatangi dan berbisik. Ia bercerita tentang Aki Salu. Menurut dia, tiga hari setelah kematian Ki Salu, hampir tiap malam dari kuburan pinggir kampung kami terdengar raungan harimau. Terus menerus setiap malam hingga hari ketujuh. Entah benar atau tidak, raungan itu juga terjadi pada malam keempat puluh hari kematian Ki Salu.

Euweuh nu wani ngadatangan. Sieun. Tak ada yang berani mendatangi. Takut,” kata dia, manakala saya tanya mengapa pekuburan itu tak didatangi untuk memastikan benar tidaknya auman itu.

Seketika saya teringat sisa-sisa mantera yang diminta Ki Salu saya hafalkan manakala ia bercerita dulu.  Hanya tersisa sedikit, tergerus pemikiran John Maynard Keynes, John Stuart Mill, John Kenneth Galbraith atau George Stigler yang diujikan saat Ujian Tengah dan Akhir Semester di kampus.

“…raga jati tan kena ing pati

Raga ningsun tan kena ing mala

Wit tanpa wiwitan

Les tanpa wekasan

Elmu jati ninggang pati

Kana ati kabawa mati….”  [  ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button