Market

Boros Anggaran Konsultan Rp100 Miliar, DPR Minta Bos IBC Dipecat

Dinilai boros membayar konsultan, sementara hasilnya nihil, muncul desakan pencopotan Direktur Utama Indonesia Battery Corporation (IBC), Toto Nugroho.

Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto mendesak pemerintah mencopot Toto. Karena itu tadi, dianggap gagal mengelola BUMN sektor baterai listrik. “Saya minta pemegang saham korporasi baterai listrik Indonesia yakni Pertamina, PLN, MIND-ID, dan Antam mengganti Dirut IBC. Karena tidak cukup membawa kemajuan yang berarti bagi perusahaan setelah bekerja lebih dari tiga tahun,” ujar Mulyanto, Jakarta, dikutip Kamis (13/4/2023).

Selama ini, kata politkus PKS ini, Dirut IBC lebih banyak membuat kajian yang menelan biaya hampir Rp100 miliar. Dana segede itu hanya untuk membayar konsultan. Sayangnya tidak terlihat langkah-langkah konkretnya.

Belakangan terkuak, Toto sebelum menjabat Dirut IBC, adalah Dirut Petral, perusahaan minyak dan gas bumi (migas) yang berbasis di Singapura, sehingga tidak ada korelasinya dengan industri baterai listrik. Apalagi, Petral sempat diusulkan untuk dibubarkan oleh Tim Pemberantasan Mafia Migas.

“Secara etika publik, ini kan tidak elok. Masak Dirut perusahaan yang bermasalah serta bikin gempar dunia Migas nasional, yang akhirnya dibubarkan oleh Tim Pemberantasan Mafia Migas malah diangkat lagi sebagai Dirut IBC yang sangat strategis dalam mendukung pengembangan EBET nasional. Ini mengkhawatirkan masa depan energi hijau kita,” tegasnya.

Mulyanto menilai, Toto tidak menguasai seluk-beluk bisnis terkait teknologi baterai listrik. Padahal, sejatinya IBC ini melibatkan berbagai lembaga riset yang sebelumnya terkonsolidasikan oleh Kemenristek (sekarang BRIN) dalam konsorsium riset baterai listrik.

“Sayang kalau akumulasi pengetahuan yang ada selama ini dalam lembaga-lembaga riset pemerintah menguap begitu saja,” tambahnya.

Mulyanto mempertanyakan kasus kerja sama dengan perusahaan Korea, yakni LG Energy Solution (LG) yang terancam bubar. Padahal teknologi baterai listriknya dimiliki perusahaan tersebut.

Ia menilai, hal itu mirip dengan kasus mundurnya perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat, Air Products and Chemicals Inc. dalam konsorsium gasifikasi batubara untuk DME, yang justru memegang teknologi kunci DME. “Kenapa bisa terjadi? Jangan sampai investasi senilai hampir Rp122 Triliun ini gagal terwujud dan berdampak buruk bagi pengembangan ekosistem baterei kendaraan listrik di Indonesia,” pungkasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button